Budaya: Tatulak Desa

Tak banyak tradisi budaya leluhur Suku Bangsa Sasak yang masih terjaga sampai saat ini. Dari yang sedikit tersisa dan nyaris punah tersebut adalah ritual “Tatulak Desa” yang masih rutin diselenggarakan setiap tahun.

Sebagai salah satu budaya peninggalan leluhur, Tatulak Desa merupakan sebuah kegiatan yang mengandung makna filosofi budaya dan keagamaan. Budaya ini diperkirakan lahir pada masa Kerajaan Islam Selaparang. Ketika itu nuansa budaya yang dicirikan dengan bahasa Kawi (Jejawen Sasak) masih tersimpan segar dalam memori warga masyarakat Sasak yang kala itu sudah memeluk agama Islam.

Ritual yang masih dibudayakan oleh masyarakat terutama di Dusun Belawong Desa Pringgabaya Lombok Timur ini konon merupakan sebuah upacara turun temurun yang dilaksanakan setiap tahun. Konon ketika itu, di Gumi Paer Lombok sedang merajalela kejahatan seperti perampokan, pencurian dan perompakan, terutama terjadi di daerah pesisir pantai. Oleh raja Lombok waktu itu, diperintahkanlah kepada masyarakat untuk pindah ke tempat yang lebih aman untuk bertafakkur, mohon petunjuk dari Sang Pencipta. Hasil dari tafakkur itu kemudian menyebutkan adanya perintah untuk berkurban dengan menyembelih 44 ekor ayam.

LontarPara tokoh agama dan masyarakat waktu itu membuat suatu kegiatan yang bermakna filosofi  kehidupan untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Agar kegiatan bernilai syiar dan mencerminkan kebersamaan, maka dipilihlah waktu yang tepat. Kemudian diputuskan untuk melaksanakan kegiatan setiap hari Senin atau Rabu pada minggu pertama bulan Muharram.

“Ta” dalam Tatulak berarti kita. Tulak berarti kembali, sehingga “tatulak” diartikan sebagai “kita kembali” (ke jalan yang benar). Makna filosofi dari tatulak desa adalah mengajak kepada seluruh warga untuk meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Acara diawali dengan pembacaan Takepan Tapel Adam yakni naskah lontar bertuliskan huruf Kawi sejak siang hari hingga menjelang subuh keesokannya. Naskah lontar ini berisikan pesan tentang asal kejadian manusia, sejarah kehidupan dan peradabannya mulai dari Nabi Adam dan seterusnya.

Acara dilanjutkan dengan mengantar sajian ke masjid yang disebut Sonsonan Lima yang merupakan simbol kembalinya prilaku manusia dari alah kejahatan menuju kepada yang hak (kebenaran). Sonsonan Lima merupakan simbol watak dan nafsu kejahatan manusia yang dilambangkan dengan warna hitam, kemudian berangsur-angsur membaik. Mula-mula berubah menjadi loreng dan berakhir dengan warna putih, yakni ketika watak manusia itu kembali ke jalan yang benar atau kebaikan. Sonsonan Lima terdiri dari Sonsonan Ratu, Sonsonan Pangeran Ratu, Sonsonan Rasul Mustafa, Sonsonan Jinem dan Sosnsonan Waliyullah.

Sonsonan Ratu yakni sajian dengan menu daging ayam warna bulu hitam mulus, dibakar dan dipanggang. Daging ayam ini ditaruh diatas nasi tatulak.

Sonsonan Pangeran Ratu berupa sajian dengan menu tiga lapis yang terdiri dari nasi ketan, daging ayam dan telur yang digoreng. Sajian ini diatur hingga 8 lapisan dalam sebuah piring besar (nasik kuning). Daging ayam yang dipakai pada sajian ini adalah ayam dengan bulu campuran yaitu merah dan kuning (bengkuning) berusia muda (mendara). Dagingnya dirobek kecil-kecil, dibuang tulangnya dan dibalut dengan gula merah (gegulik) untuk selanjutnya diletakkan bersamaan dengan menu lapis tadi.

Sonsonan Rasul Mustafa, yaitu sajian dengan menu nasi yang dikelilingi dengan 44 butir telur yang sudah dikupas kulitnya. Sedangkan Sonsonan Jinem diatur dengan menu daging ayam yang bulunya berwarna tiga, yaitu putih, kuning dan hitam. Jinem sendiri sebenarnya adalah nama sebuah kamar di dalam istana. Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa seseorang harus bertafakkur untuk menghilangkan warna hitam (keburukan) dan warna kuning sehingga benar-benar menjadi putih mulus (kebaikan).

Kelima adalah Sonsonan Waliyullah, yakni sajian dengan menu daging ayam yang berbulu putih mulus. Sonsonan ini bermakna akhir perjalanan hidup manusia dalam mencapai keselamatan. Mengisyaratkan bahwa manusia dalam kehidupannya diwarnai dengan prilaku yang beragam antara buruk (hitam) dan baik (putih). Semuanya mengalami proses, dari sifat yang sangat jahat (penuh dosa) dan akhirnya bertaubat menjadi insan yang beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah dan mencintai Rasul-Nya dengan sepenuh hati.

Sonsonan Lima sebagai induk tatulak yang disajikan secara khusus pada wadah tempat penyajian (dulang). Sedangkan sonsonan pengiring disajikan dengan wadah biasa (nare) berupa 744 buah ketupat dengan lauk berupa olahan daging 39 ekor ayam ditambah ala kadar lainnya seperti kue tradisional dan sebagainya.

Sonsonan Lima dan pengirim dibawa ke masjid menjelang waktu subuh. Penyelenggara dan masyarakat beramai-ramai berkumpul di masjid untuk melakukan sholat subuh berjama’ah. Usai sholat, tahlil dan do’a barulah sonsonan lima dan pengiring disajikan dan dinikmati bersama-sama oleh segenap jama’ah dan masyarakat yang hadir.

Kepala Desa Pringgabaya, Lalu Sapri dalam mengapresiasi ritual Tatulak Desa tahun 2014 mengatakan: “Acara yang langka dan bernilai mahal ini, merupakan budaya tradisional leluhur masyarakat Sasak yang sangat sayang kalau sampai hilang.  (Sumber: Duta Selaparang)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.