Saya berbesar hati ketika membaca Seksi Indonesia VOA yang meninjau keberhasilan Indonesia dalam membangun demokrasi, dalam artikel Bali Democracy Forum Jadi Wadah Pemerintahan Global dan Indonesia Dinilai Mampu Kembangkan Demokrasi.
Mengukur Demokrasi
Demokrasi Indonesia yang diwariskan dari orde ke orde telah mewarnai sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Entah apa pun namanya, dari demokrasi terpimpin sampai demokrasi Pancasila, keberadaannya dicetuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dihajatkan untuk kepentingan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Entah apa pun alasannya, kita harus mengakui bahwa realisasi dari pemaknaan demokrasi masih jauh panggang dari api. Kemajuan sih mungkin ya, akan tetapi secara keseluruhan masih termasuk dalam kategori sangat rendah.
Setidaknya itu menurut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang disusun sebagai alat ukur kuantitaif untuk melihat tingkat kemajuan demokrasi di Indonesia maupun di suatu daerah. Bukankah proses penyusunan IDI melibatkan pemerintah provinsi, DPRD, LSM, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, akademisi dan pekerja media di masing-masing provinsi? Maka alat ukur ini untuk sementara dapat dijadikan patokan. Pengukuran kemajuan demokrasi pada IDI didasarkan pada realitas pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi yaitu kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (institutions of democracy). Ketiga aspek tersebut merupakan pilar dari konsep demokrasi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Aspek pertama dan kedua merefleksikan esensi atas konsep demokrasi, sementara aspek ketiga merefleksikan wadah dari proses demokrasi.
Jika tiga aspek itu dirincikan lebih lanjut, maka dalam aspek kebebasan sipil, IDI menilainya berdasarkan kebebasan berkumpul dan berpendapat, kebebasan berkeyakinan dan bebas dari segala macam diskriminasi. Sementara aspek hak-hak politik termasuk didalamnya adalah hak memilih dan dipilih, hak partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan serta pemilihan umum yang, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sedangkan aspek institusi demokrasi didalamnya tercakup peran DPR/DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintahan daerah, dan peradilan yang independen.
Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka dengan mata telanjang dapat kita lihat bahwa penerapan demokrasi di Indonesia masih perlu dibenahi. Perbaikan itu dibutuhkan – sekali lagi – berdasarkan penilaian IDI yang menganggap penerapan demokrasi di negeri tercinta nusantara ini belum cukup baik.
Bentuk-bentuk penerapan kebijakan dan prilaku umum masyarakat yang menunjukkan masih lemahnya demokrasi di negeri ini masih nampak pada ketiga aspek tersebut. Mulai dari masih adanya tekanan yang dialami kalangan minoritas sampai masih terjadinya intimidasi terhadap penganut keyakinan tertentu. Dari anarkisme dalam menyampaikan pendapat dan aspirasi sampai berbagai konflik yang sering kali terjadi. Dari maraknya money politik sampai menjadikan momen pemilihan sebagai ajang perjudian. Dan bahkan dari maraknya istilah mafia pajak sampai mapia peradilan.
Pada dasarnya tujuan penyusunan IDI adalah menganalisa kelemahan dan kekuatan praktik-praktik demokrasi yang dapat berkontribusi dalam pengembangan dan kemajuan nilai-nilai demokrasi, memformulasikan indeks demokrasi yang lebih sesuai dengan konteks ke Indonesia-an serta memformulasikan rekomendasi kebijakan untuk pemerintah pusat dan daerah dalam rangka ekselerasi demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisa terhadap data-data yang dikumpulkan dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2009 misalnya, didapatkan angka Indeks Demokrasi Indonesia (nasional) sebesar 67,30 dengan distribusi indeks berdasarkan masing-masing aspek adalah kebebasan sipil 86,97, hak-hak politik 54,60 dan lembaga demokrasi 62,72. Sedangkan angka indeks demokrasi yang baik menurut para ahli adalah 80 atau lebih. Bermaksud akan meningkatkan angka, tetapi malah sebaliknya, karena angka IDI nasional pada tahun 2010 menurun menjadi 63 saja.
Demikian pula di daerah, pada tahun tersebut tidak ada provinsi yang meraih indeks dengan angka 80. Indeks tertinggi diraih Kalimantan Tengah dengan angka sebesar 77. Nusa Tenggara Barat meraih angka terendah yakni sebesar 58,12.
Angka-angka tersebut di atas dapat dimaknai bahwa Indonesia berhasil dalam mengembangkan demokrasi terkait dengan hak kebebasan sipil, cukup berhasil dalam membangun lembaga demokrasi, namun masih tertinggal dalam mengembangkan hak-hak politik.
IDI di Nusa Tenggara Barat
Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa dari penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam tahun 2009, provinsi Nusa Tenggara Barat meraih angka terendah yaitu 58,12 atau posisi NTB berada di peringkat terakhir. Jika dibandingkan dengan tahun 2009, memang kinerja demokrasi NTB ada peningkatan, dimana NTB berada pada posisi 30 dari 33 provinsi di Indonesia. Sebaliknya tahun 2010 sejumlah provinsi mengalami penurunan indeks demokrasi dengan sangat tajam seperti Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sementara itu, provinsi Banten menjadi salah satu daerah percontohan dalam pemanfaatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) bersama Nanggroe Aceh Darussalam dan Gorontalo karena ketiganya mampu mengembangkan pelaksanaan pembangunan demokrasi, sehingga tiga daerah ini dinobatkan sebagai daerah percontohan yang mampu memprakarsai berbagai program terkait pengembangan demokrasi di daerahnya. Dengan kata lain bahwa jika provinsi Banten, NAD dan Gorontalo berhasil mengembangkan untuk kesejahteraan rakyat tentu bisa juga dilaksanakan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota lainnya, termasuk NTB.
Rilis UNDP tentang rendahnya IDI NTB yang ditentang beberapa kalangan dilandaskan pada nilai keseluruhan dari indikator yang sudah ditentukan. Pada aspek kebebasan sipil, nilai NTB cukup bagus. Indikator dengan nilai tertinggi adalah kebebasan dari diskriminasi 97,22 dan nilai terendah pada kebebasan berkeyakinan 51,30. Sedangkan Kebebasan berkumpul dan berserikat NTB meraih nilai 68,05 dan kebebasan berpendapat berada pada level 72,23. Kebebasan sipil adalah tontonan sehari-hari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena konstitusi mengatur hal tersebut secara eksplisit. Kebebasan berkeyakinan merujuk kepada fakta konflik minoritas jamaah Ahmadiyah dan muslim di NTB. Konflik ini menjadi sorotan nasional bahkan internasional karena terjadi bukan hanya di NTB, tetapi hampir di merata pulau negeri ini. Demikian pula aksi represif oknum aparat keamanan dan militer ketika menangani aksi massa turut memberikan kontribusi dalam melorotkan posisi kebebasan sipil di NTB. Termasuk juga banyaknya aksi-aksi kejahatan yang masyarakat menuntut pengusutan tuntas belum terselesaikan.
Pada aspek kebebasan hak-hak politik belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kebebasan memilih dan dipilih hanya meraih 49,2 dan partisipasi politik dalam mengambil keputusan dan pengawasan yang hanya 45,8. Sorotan utama yang menurunkan nilai aspek ini adalah kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), sehingga menjelang pemilukada Lombok Timur dan NTB 2013, naga-naganya DPT menjadi sorotan lagi. Salah satu contoh yang sempat memusingkan pihak berkompeten adalah peningkatan jumlah pemilih yang sangat besar dan perbedaan antara data yang satu dengan lainnya. Media massa memaparkan contoh perbedaan antara Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan data Badan Pusat Statistik dan Komisi Pemilihan Umum, dimana BPS memperkirakan jumlah pemilih pada tahun 2013 sekitar 3.189.890. Perkiraan ini didasarkan pada jumlah pemilih tahun 2010 sebanyak 2.929.583 dikaitkan dengan perkembangan penduduk. Sementara itu Disdukcapil mengeluarkan DP4 sementara pada tahun 2012 sebanyak 3.789.654, sedangkan KPU setelah meng-up date data dari jumlah pemilih tahun 2007 sebanyak 2.845.939 menjadi 3.682.596 pada tahun 2012.
Kebebasan lembaga demokrasi menunjukkan hasil gemilang pada peran peradilan independen yang memperoleh skor 90,00 diikuti pemilu yang bebas dan adil 88,49 dan peran birokrasi pemerintah daerah dengan nilai 88,12. Sementara peran DPRD masih kurang dengan nilai 36,17. Yang paling menyedihkan adalah peran partai politik yang hanya meraih nilai 7,48.
Berdasarkan angka-angka ini, titik lemah dari IDI NTB antara lain pada fungsi dan peran dari institusi demokrasi, terutama peran partai politik. Pemilihan demi pemilihan seakan tidak pernah luput dari permasalahan. Peran DPRD provinsi dan kabupaten dipandang melempem alias kerja check and balance tidak berjalan. Demikian pula partai politik yang dipandang gagal menjalankan kaderisasi kepemimpinan. Partai gagal menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik dan sebagai penyerap aspirasi konstituen. Harus diakui bahwa pembinaan terhadap kader dan anggotanya sangat kurang. Akibatnya, walaupun tingkat kehadiran pemilih dalam setiap pemilihan cukup tinggi diatas rata-rata nasional, namun sebagian masyarakat menganggap pemilihan hanya sebagai simbol dengan mengganti istilah ‘hak pilih’ menjadi ‘wajib pilih’. Kehadiran mereka seakan-akan bukan lagi sebagai instrumen penyampaian aspirasi untuk menentukan wakil mereka. Pilihan mereka terhadap figur bukan lagi berlandaskan hati nurani, tetapi lebih mengarah kepada kekerabatan dan golongan, bahkan tidak sedikit yang memberikan suara karena semata-mata mengharapkan imbalan.
Ini dapat kita lihat berdasarkan beberapa asumsi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Seperti ungkapan-ungkapan yang sering kali terucap menjelang pemilihan, “mendorong mobil mogok”, “siapa pun menang, toh saya tetap akan jadi buruh harian”, “namanya saja politik”, dan sebagainya merupakan ungkapan yang menggambarkan sikap apatis mereka terhadap tujuan demokrasi.
Demokrasi dan Kesejahteraan
Rendahnya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) NTB tidak terlepas dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB yang juga masih rendah (nomor dua dari belakang setelah Papua). Secara otomatis pula tidak dapat dipisahkan dengan tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan dalam arti luas yaitu kesejahteraan lahir dan bathin, yang mencakup berkecukupan sandang, pangan, pakaian, rasa keadilan, keamanan, kesempatan berusaha dan kualitas keimanan.
Ketika sumber daya manusia berkualitas, maka kesadaran untuk menjalankan konsep demokrasi semakin meningkat. Ketika konsep demokrasi dijalankan pada relnya, maka sumber daya akan merasa terlindungi. Ketika sumber daya terlindungi, maka mereka akan berusaha untuk terus meningkatkan kualitasnya, demikian seterusnya. Pada gilirannya, tidak terlalu sulit bagi siapapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadilan dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan bisa dicapai jika prinsip-prinsip demokrasi dapat berjalan dengan baik dan benar. Alam demokrasi memungkinkan setiap warga negara berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pemanfaatan dan pengawasan. Ditunjang dengan sistem peradilan yang independen dan bertanggung jawab, pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance), pengkaderan dan regulasi kepemimpinan yang tepat dan berkesinambungan, maka relasi resiprokal antara state dan society berjalan dengan baik dan dinamis. Peran yang juga sangat menentukan adalah pembinaan keimanan antara satu golongan dengan lainnya saling berdampingan, menjalin persatuan yang utuh seutuh-utuhnya, maka indeks demokrasi akan terus meningkat beriringan dengan meningkatnya IPM kita. Harapan untuk menjadikan NTB sebagai daerah Beriman dan Berdaya Saing akan tercapai, bukan hanya secara nasional, tetapi dalam taraf internasional.
Akurasi Data
Seringkali data yang dipublikasikan membuat merah telinga berbagai pihak. Tentu saja penyusun data pun tidak mau disalahkan, apalagi jika yang menyusunnya adalah lembaga yang berkompeten di bidangnya, seperti katakanlah BPS. Walaupun demikian, seraya berkaca dari fakta terdahulu, maka data yang dapat dipertanggungjawabkan akan berguna untuk dimanfaatkan dalam pembangunan, dalam hal ini data IDI untuk pembangunan demokrasi.
Kepala BPS NTB menyatakan bahwa data IPM tidak dapat dijadikan tolok ukur dan tidak relevan untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja pembangunan suatu daerah, terutama bagi daerah yang tingkat migrasinya tinggi. Banyaknya pelajar dan mahasiswa asal asal suatu daerah yang melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi di daerah lain, secara otomatis mereka akan tercatat sebagai penduduk daerah tempatnya belajar setelah berdomisili selama 6 bulan secara terus menerus. Oleh karena itu, SDM berkualitas berada pada daerah dimana mereka sekolah/kuliah, sedangkan IPM daerah asal mereka diukur berdasarkan penduduk yang masih tinggal. Demikian pula dengan TKI/TKW berketerampilan khusus, ramai-ramai meninggalkan daerahnya untuk membangun daerah/negeri orang lain. Inilah alasan mengapa akurasi data IPM tidak terlalu perlu dirisaukan.
Akurasi data juga dipengaruhi oleh tenggang waktu antara penelitian dan rilis data. Data yang dikeluarkan tahun 2012 merupakan hasil analisa dan penelitian 2010, sehingga penilaian yang mundur 2 sampai 3 tahun karena memerlukan pengkajian, tidaklah serta merta merupakan cermin mutakhir untuk melihat suatu daerah pada saat ini. Itu artinya, jika ingin melihat keadaan riil tahun ini, haruslah menunggu data yang dirilis pada tahun 2015.
Fakta Riilnya Adalah………
Apa pun alasannya, bahwa demokrasi di negeri kita masih memerlukan waktu panjang dalam membenahinya. Pendidikan politik bagi masyarakat bukannya tidak ada, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyelenggaraan pemilihan umum mulai dari pemilihan presiden, pemilihan DPR/DPRD/DPD, pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan kepala desa dan bahkan sampai pemilihan kepala dusun sudah secara langsung mengajari masyarakat di semua lapisan untuk berdemokrasi. Selama ini, penyelenggaraannya hampir secara umum seluruhnya oke-oke saja, namun secara khusus sikap demokratis itu sesungguhnya masih sangat tipis. Memang tak ada gading yang tak retak, tetapi rasa-rasanya sampai dewasa ini, tak ada pemilihan yang tidak menimbulkan masalah. Mulai dari kisruh DPT, raibnya – kalau tak bisa dikatakan pindahnya – beberapa suara, anarkis pendukung, ketidak siapan menerima kekalahan, intimidasi pemilih, sampai kepada politik uang dan tekanan-tekanan. Ini baru pada aspek penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil.
Rujukan :
http://regional.kompas.com/
http://www.republika.co.id/
http://news.okezone.com/
http://www.undp.or.id/
http://www.ntbprov.go.id/
Artikel ini dikirim ke website Suara Amerika dalam Kontes Ngeblog VOA