Arsip Tag: IRIB

2012, Tahun International Derita TKI?

Kata-Kata

Kalau saja diperkenankan PBB, ingin rasanya saya menjadikan tahun 2012 sebagai Tahun Internasional Derita Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Namun sayangnya, tahun 2012 yang sudah akan berakhir keburu dipatok oleh badan dunia sebagai Tahun Koperasi Internasional dan Tahun Internasional tentang Energi Berkelanjutan. Betapa tidak, sepanjang tahun 2012 berbagai media dipenuhi dengan berita-berita kesengsaraan TKI/TKW di luar negeri, mulai dari perlakuan tidak adil, trafficking, korban penembakan, korban penganiayaan, jatuh dari gedung, tidak dibayarkan upah dan sebagainya.

TKI - IRIBNampaknya penderitaan TKI di berbagai negara seakan tak pernah berhenti. Padahal, sang pahlawan devisa (memperhalus istilah untuk menyembunyikan penderiataan mereka) disebut-sebut telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi penghasilan negara, tetapi tidak dibarengi dengan perlindungan yang memadai dan menyeluruh (kalaupun tidak istimewa) terhadap mereka. Aneka kekerasan dan perlakuan menyakitkan masih saja dialami sejumlah TKI di berbagai negara. Bahkan, beberapa di antara mereka harus pulang menemui keluarganya tanpa nyawa. Dan ironisnya, peristiwa yang beruntun itu seakan-akan tak kuasa dibendung, karena walaupun sudah ribuan yang masalahnya terungkap, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum atau tidak muncul ke permukaan. Lalu kelemahan siapakah? Pemerintah, BNP2TKI, PPTKIS, tekong, PL, majikan ataukah TKI itu sendiri? Sebaiknya, jangan ada yang menjawab pertanyaan ini, karena kalau harus dijawab, sudah pasti masing-masing akan membela diri dan menyalahkan pihak lainnya.

 

Kata Kita

Seperti di beritakan Radar Lombok per 28 Desember 2012 yang mengutip catatan yang dimiliki oleh bidang HI dan Pengawasan Tenaga Kerja pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lombok Timur (DSTT), bahwa sepanjang tahun 2012 jumlah TKI/TKW yang meninggal dunia mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yakni 23 orang. Penyebab kematian mereka antara lain diduga sakit dan akhirnya meninggal sebanyak 16 orang, kecelakaan kendaraan saat bekerja 3 orang, tertembak polisi sampai mati 3 orang dan 1 orang lagi belum diketahui penyebab pasti kematiannya.

Dibanding tahun lalu yang hanya 7 orang TKI asal Lombok Timur yang meninggal, maka tahun ini meningkat tiga kali lipat, dan sebagian besar yang meninggal tersebut merupakan TKI illegal, yang masuk secara gelap ke negara lain.

Memang menjadi TKI masih merupakan pilihan banyak orang untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Tak mengherankan jika jumlah TKI dari tahun ke tahun terus saja meningkat. TKI resmi yang berasal dari Lombok Timur tidak tanggung-tanggung jumlahnya sampai 17 ribu orang baik pada tahun 2011, maupun pada tahun 2012 walaupun telah diberlakukan moratorium pemberangkatan TKI. Jumlah ini (pemberangkatan dan TKI meninggal) yang resmi tercatat, sedangkan yang gelap dan yang tidak tercatat mungkin lebih banyak dari jumlah itu.

Dapat dibayangkan, kalau dari satu kabupaten saja, yang meninggal secara resmi mencapai 23 orang, bagaimana jika dikumpulkan dari semua kabupaten se Indonesia dan disatukan dengan TKI yang meninggal dan tidak tercatat. Apakah bisa mencapai ratusan, ribuan, atau puluhan ribu? Dan bagaimana jika dijumlahkan dengan TKI dari negara-negara lain? Jumlahnya mungkin bisa memenuhi syarat untuk menjadikan tahun ini sebagai Tahun Derita Tenaga Kerja Internasional.

 

Kata Data

Jika dihitung-hitung sesungguhnya para TKI/TKW telah memberikan banyak sumbangan untuk pembangunan dan kemajuan daerah dan negeri tercinta ini. Setiap tahun, lebih dari Rp 60 trilyun remitance pengiriman uang oleh TKI/TKW dari berbagai belahan dunia. Dan kononnya, aliran dana itu sebagian besar dikirim oleh TKI yang berada di sektor informal penata laksana rumah tangga (pembantu rumah tangga). Dana itu dihimpun dari pengiriman menggunakan jasa perbankan saja. Banyak juga TKI yang membawa pulang langsung uang mereka atau menitipkan melalui pihak lain. Jika dijumlahkan seluruhnya bisa mencapai Rp 100  triliun.

Apakah sumbangan dan perjuangan mereka sudah sebanding dengan hak dan kesejahteraan yang mereka terima? Karena selama ini, masih terlalu sering kita mendengar kisah penganiayaan atas tenaga kerja Indonesia, terutama perempuan yang bekerja di luar negeri. Kisah pilu yang kerap berdengung kadang sempat menggugah emosi rakyat Indonesia.

Tahun 2011, menurut media pemberitaan, sedikitnya ada 218 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Mereka tersebar di empat negara yakni, Malaysia 151 orang, Arab Saudi 43 orang, China 22 orang, dan Singapura 2 orang. Dengan kata lain, tahun 2011 Malaysia mendominasi tempat TKI bermasalah.

Sedangkan tahun 2012, dari Januari-Mei 2012 dominasi TKI bermasalah berpindah ke Arab Saudi, sebagaimana diungkapkan oleh

subdit Pelayanan Kepulangan Direktorat Pemberdayaan BNP2TKI, Budiman Pasaribu, Selasa (05/06) yang menyatakan bahwa Arab Saudi, merupakan negara penempatan yang mendominasi permasalahan yang dihadapi tenaga kerja Indonesia (TKI) di antara 14 negara lainnya. Dimana, dalam lima bulan pertama tahun 2012 terdapat 1.410 TKI Bermasalah, 776 orang di antaranya merupakan TKI di Arab Saudi, kemudian disusul Malaysia sebanyak 252 orang, Syiria 196 orang, Yordania 84 orang, dan Uni Emirat Arab 70 orang. Sementara itu Mesir terdapat 13 TKI bermasalah, Singapura 1 orang, Hongkong 2 orang, Qatar 2 orang, Kuwait 11 orang, Sudan 1 orang, Turki 2 orang, Libanon 1 orang, sedangkan di Taiwan dan Yaman tidak ada.

 

Kata Fakta

Faktanya, nasib dan kondisi buruh masih terus dirundung sejumlah masalah serius. Diantaranya, masih minimnya perlindungan pihak-pihak terkait dalam memberikan jaminan keselamatan, kesehatan, dan perlindungan kerja, terutama kepada buruh migran. Banyak TKI dan TKW yang pulang ke tanah air dengan cacat permanen seumur hidup dan bahkan dengan peti mati tanpa mendapatkan advokasi yang memadai. Ternyata problema TKI yang terus bermunculan, menjadi PR yang hingga kini belum terselesaikan.

Yenny Wahid, direktur The Wahid Institute Jakarta dalam sebuah artikelnya menulis, “dalam pandangan islam, dua perkara pokok itu (jaminan keselamatan kerja dan upah) mendapat perhatian penting.”

Yenny ketika berbicara tentang hak-hak buruh, mengutip hadits Rasulullah SAW, “Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka, barang siapa mempunyai pekerja, hendaklah pekerja itu diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu.”  (Dikutif dari Website IRIB-Iran)

Pada artikelnya yang lain, IRIB menukil sumbernya yang mengatakan bahwa masalah TKW bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan. Banyak pihak yang berkepentingan, dan muara masalahnya adalah seleksi perekrutan yang dilakukan pihak agensi dan masih terbatasnya lapangan pekerjaan di tanah air.

Di sisi lain, pencari kerja seringkali diming-imingi mendapat penghasilan layak, tanpa memberikan pembekalan yang cukup.  Pihak agen TKI/TKW mendapatkan untung yang lumayan. Sebagai contoh, para majikan di Yordania membayar sekitar 4.500 USD ke pihak agensi Yordania, kemudian agensi Yordania menyetor sekitar 3.500 USD ke pihak agensi Indonesia untuk mendatangkan satu TKW. Biaya yang cukup mahal.

Implikasinya timbul ketika para majikan merasa telah membeli TKW sehingga majikan mengabaikan hak dan kewajiban TKW, akibatnya banyak TKW mengalami masalah. TKW sering mengalami gaji yang tidak dibayar, tidak mendapatkan hak untuk pulang setiap dua tahun, tidak ada kenaikan gaji pada tahun ketiga dengan minimal 200 USD dan sebagainya, dan bahkan semestinya TKW juga tahu bahwa jika mereka tidak mau pulang, TKW tetap mendapatkan hak kompensasi sekitar 800 USD.

Di samping masalah ekonomi, umumnya masyarakat Arab punya anggapan bahwa dengan membayar sejumlah uang  untuk mendatangkan TKW dari Indonesia, mereka sudah  seperti “membeli budak” dan berhak memperlakukan apa saja, seperti menyiksa, memaksa bekerja tanpa batas waktu dan bahkan memperkosa.

TKW sering tidur di mana saja, seperti di bawah tangga atau di dapur, diberi makan seadanya yang jauh  dari kebutuhan layak. Dalam kasus tertentu, majikan merasa punya gengsi tersendiri mempunyai TKW, mereka seringkali patungan, 3 atau 4 keluarga memperkerjakan 1 TKW. Satu TKW  harus mengerjakan pekerjaan rumah untuk 4 keluarga sekaligus sehingga tidak ada waktu untuk istirahat.

Masalah pemahaman tentang hak dan kewajiban TKW ini merupakan masalah yang sangat penting, di samping itu budaya “nrimo” dan tidak mau “ngeyel” dari kebanyakan TKW Indonesia membuat posisi TKW makin mudah diperalat dan melanggengkan budaya perbudakan. (Sumber: IRIB Indonesia/MM).