Arsip Kategori: Cerita Rakyat

Memuat cerita-cerita rakyat yang berkembang dari mulut kemulut secara turun temurun. Cerita sebagian besar berupa dongeng.

RITUAL REBO BONTONG (BUNTUNG)

Ritual Rebo Bontong (Rebo Buntung) merupakan Tradisi Budaya masyarakat Desa Pringgabaya yang dipusatkan di Dusun Ketapang (Daerah Pesisir Pantai) sejak berabad-abad lamanya secara turun-temurun.  Diadakan tiap tahun  dalam kurun waktu minggu keempat bulan Safar.  Ritual ini merupakan  perwujudan ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt dan bersinergi dengan ungkapan kebersamaan serta menjunjung tinggi  kelestarian kearifan lokal Pantai Pesisir, sebagai bagian dari SDA yang memberi banyak manfaat bagi kemaslahatan ummat Manusia.

Sementara pada bulan Safar diadakan  Ritual Rebo Buntung, dan Tetulak Tamperan pada minggu keempat. Ritual Rebo Buntung yang dilaksanakan secara sistematis merupakan Tradisi Budaya masyarkat Suku Sasak khususnya di Desa Pringgabaya yang mengandung nilai luhur dan filosofi kehidupan sebagai masyarakat yang berbudaya dan beragama. Terdapat adanya kesadaran yang tinggi  sebagai makhluk sosial dalam menata diri dan lingkungan sekitar dalam nuansa keseimbangan dan keselarasan untuk kemudian  segalanya  kembali kepada Sang Khaliq.

Rebo Buntung, dalam penanggalan Hijriah menurut tokoh  masyarakat Islam suku Sasak terdahulu, merupakan  bulan Safar yang berakhir pada hari Rabu ba’da Ashar (sebelum Magrib tiba) yang langsung disambut oleh masuknya awal bulan Rabi’ul Awal. Sehingga nampak sebagai hari Rabu yang terpotong (Sasak: buntung). Kondisi tersebut  diyakini akan turun bala’ berupa penyakit, sehingga masyarakat diingatkan untuk betul-betul berserah diri kepada Allah Swt. dengan peningkatan Ibadah dan amal shaleh.

Rebo Buntung1Oleh para tokoh masyarakat Islam (pesisir pantai) kemudian melakukan  kegiatan yang  dikenal sebagai Ritual Rebo Buntung. Persiapannya dimulai ba’da ashar ditandai dengan pembacaan Takepan Tapel Adam (seperti saat Tatulak Desa) dan pembuatan Sonsonan 7 (sonsonan 5 pada Tatulak Desa) serta ancak sesaji hingga menjelang waktu subuh. Selanjutnya ancak sesaji diarak ke pesisir pantai untuk dilepas/dibuang ke tengah arus ombak laut. Ritual ini kemudian dikenal sebagai  Ritual Rebo Buntung.

Pada hari Rebo Buntung ini, masyarakat dianjurkan untuk tidak ringgal di rumah, dalam artian masyarakat diingatkan untuk menghormati Ritual Rebo Buntung yang puncak acaranya dilaksanakan di pesisir pantai. Selanjutnya masyarakat pun dapat menikmati indahnya hawa segar pantai sambil mandi. Kejadian ini sangat langka, dan menjadi tradisi bagi masyarakat Suku Sasak khususnya di Dusun Pesisir Ketapang Desa Pringgabaya untuk melaksanakannya rutin setiap tahun. Kegiatan seperti ini juga dilakukan di pantai Lombok Utara yang dikenal sebagai  ritual mandi shafar, meskipun tanpa acara seperti di Pantai Tanjung Menangis Dusun Ketapang Desa Pringgabaya.

Makna filosofi yang terkandung dalam ritual Rebo Buntung dapat diketahui dari penuturan tokoh masyarakat. Ancak (dalam bentuk tandu berhias janur) berisikan sesajian aneka kebutuhan berupa hasil bumi baik dalam keadaan segar maupun olahan, mulai dari beras-berasan, kue/jajanan tradisional hingga buah-buahan. Ancak inilah yang dibuang ke laut diawali dengan pembuangan kepala kerbau. Sepintas memang berbau mistis yang dipandang sebagai sesajian bagi penguasa laut (seperti kepercayaan yang banyak berkembang di tengah masyarakat), namun sebenarnya itu semua sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. dengan perwujudan berbagi rizqi kepada masyarakat di sekitar wilayah pantai, tak ketinggalan berbagi dengan lingkungan laut (seperti ikan dll) sebagai sarana utama dan sebagai tempat/lahan dalam mencari rizqi. Sebagai ummat beragama, dengan berbagi di Rebo Buntung ini diharapkan kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat mendapat \ridlo dan keberkahan dari Allah Swt.

Rebo BuntungDalam kerangka perspektif budaya, ritual Rebo Buntung merupakan asset budaya daerah yang potensial sehingga keberadaannya ikut memperkaya khazanah budaya daerah sebagai penyusun kekuatan khazanah budaya nasional bangsa dan tanah air Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai salah satu Budaya peninggalan masa lalu yang banyak mengandung nilai-nilai luhur, bernilai sangat positif  bagi masyarakat dan generasi masa mendatang dalam rangka menata diri dan lingkungan. Termasuk mengambil hikmah dari nilai luhur peninggalan budaya masa lampau yang banyak mengandung pesan moral.

Ritual Rebo Buntung adalah Refleksi jiwa warga Suku Sasak sebagai bagian masyarakat yang berbudaya dan beragama. Sebagai bagian dari perwujudan tatanan pemikiran menuju  keseimbangan diri dan lingkungan sekitar yang tertata harmonis dengan mengedepankan kearifan lokal, maka keberadaannya sangat potensial sebagai khazanah budaya yang mengandung pesan moral dan  adat-istiadat dalam bingkai budaya religi. Menjaga dan melestarikannya merupakan upaya bijaksana dalam menghadapi arus globalisasi dan bahkan bersinggungan dengan aspek kehidupan sebagai masyarakat sosial.

Adalah momentum yang efektif dalam menumbuhkembangkan sikap dan sifat toleransi serta cinta jati diri sebagai masyarakat Gumi Paer Selaparang yang dikenal berbudaya dan beragama.  Berbagai budaya etnis/suku Sasak pun diperkenalkan menjelang acara puncak ritual Rebo Buntung diantaranya pertunjukan wayang kulit dengan lampan/cerita Serat Menak (Perjuangan menegakkan agama Islam dalam menghadapi kemungkaran kaum kafir) dari Desa Terara, Peresean serta pagelaran gamelan/gendang beleq.

Momentum rebo buntung sangat tepat untuk mengapresiasi dan menginterpretasi produk dan nilai-nilai budaya dalam rangka menumbuhkembangkan aktivitas dan kreativitas masyarakat pada umumnya dan generasi muda khususnya. Dengan demikian masyarakat suku Sasak kedepan tidak larut dengan pluralisme zaman yang akhirnya kehilangan pedoman dan pandangan hidup. Masyarakat juga mampu menunjukkan jati diri sebagai bagian dari bangsa yang berbudaya dan beragama.

Jika Lombok Tengah ikon pariwisatanya terkenal dengan “Ritual Bau Nyale” maka Lombok Timur memiliki Ritual Tatulak Desa dan Rebo Buntung. Maka, sebagai ikon pariwisata Lombok Timur, harus ada upaya lebih giat lagi untuk memperkenalkan ritual Rebo Buntung kepada khalayak ramai.

Rebo Buntung adalah budaya daerah suku Sasak tempo dulu yang potensial dijadikan sebagai bahan refrensi dan acuan serta bagian dari pijakan dalam menata kelola kehidupan bermasyarakat. Ritual Rebo Buntung sangat relevan dengan wisata bahari yang digaungkan dan diprogramkan oleh pemerintah negeri ini, yaitu memajukan dan mengembangkan kawasan Pantai. (Sumber: Duta Selaparang)

Budaya: Tatulak Desa

Tak banyak tradisi budaya leluhur Suku Bangsa Sasak yang masih terjaga sampai saat ini. Dari yang sedikit tersisa dan nyaris punah tersebut adalah ritual “Tatulak Desa” yang masih rutin diselenggarakan setiap tahun.

Sebagai salah satu budaya peninggalan leluhur, Tatulak Desa merupakan sebuah kegiatan yang mengandung makna filosofi budaya dan keagamaan. Budaya ini diperkirakan lahir pada masa Kerajaan Islam Selaparang. Ketika itu nuansa budaya yang dicirikan dengan bahasa Kawi (Jejawen Sasak) masih tersimpan segar dalam memori warga masyarakat Sasak yang kala itu sudah memeluk agama Islam.

Ritual yang masih dibudayakan oleh masyarakat terutama di Dusun Belawong Desa Pringgabaya Lombok Timur ini konon merupakan sebuah upacara turun temurun yang dilaksanakan setiap tahun. Konon ketika itu, di Gumi Paer Lombok sedang merajalela kejahatan seperti perampokan, pencurian dan perompakan, terutama terjadi di daerah pesisir pantai. Oleh raja Lombok waktu itu, diperintahkanlah kepada masyarakat untuk pindah ke tempat yang lebih aman untuk bertafakkur, mohon petunjuk dari Sang Pencipta. Hasil dari tafakkur itu kemudian menyebutkan adanya perintah untuk berkurban dengan menyembelih 44 ekor ayam.

LontarPara tokoh agama dan masyarakat waktu itu membuat suatu kegiatan yang bermakna filosofi  kehidupan untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Agar kegiatan bernilai syiar dan mencerminkan kebersamaan, maka dipilihlah waktu yang tepat. Kemudian diputuskan untuk melaksanakan kegiatan setiap hari Senin atau Rabu pada minggu pertama bulan Muharram.

“Ta” dalam Tatulak berarti kita. Tulak berarti kembali, sehingga “tatulak” diartikan sebagai “kita kembali” (ke jalan yang benar). Makna filosofi dari tatulak desa adalah mengajak kepada seluruh warga untuk meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Acara diawali dengan pembacaan Takepan Tapel Adam yakni naskah lontar bertuliskan huruf Kawi sejak siang hari hingga menjelang subuh keesokannya. Naskah lontar ini berisikan pesan tentang asal kejadian manusia, sejarah kehidupan dan peradabannya mulai dari Nabi Adam dan seterusnya.

Acara dilanjutkan dengan mengantar sajian ke masjid yang disebut Sonsonan Lima yang merupakan simbol kembalinya prilaku manusia dari alah kejahatan menuju kepada yang hak (kebenaran). Sonsonan Lima merupakan simbol watak dan nafsu kejahatan manusia yang dilambangkan dengan warna hitam, kemudian berangsur-angsur membaik. Mula-mula berubah menjadi loreng dan berakhir dengan warna putih, yakni ketika watak manusia itu kembali ke jalan yang benar atau kebaikan. Sonsonan Lima terdiri dari Sonsonan Ratu, Sonsonan Pangeran Ratu, Sonsonan Rasul Mustafa, Sonsonan Jinem dan Sosnsonan Waliyullah.

Sonsonan Ratu yakni sajian dengan menu daging ayam warna bulu hitam mulus, dibakar dan dipanggang. Daging ayam ini ditaruh diatas nasi tatulak.

Sonsonan Pangeran Ratu berupa sajian dengan menu tiga lapis yang terdiri dari nasi ketan, daging ayam dan telur yang digoreng. Sajian ini diatur hingga 8 lapisan dalam sebuah piring besar (nasik kuning). Daging ayam yang dipakai pada sajian ini adalah ayam dengan bulu campuran yaitu merah dan kuning (bengkuning) berusia muda (mendara). Dagingnya dirobek kecil-kecil, dibuang tulangnya dan dibalut dengan gula merah (gegulik) untuk selanjutnya diletakkan bersamaan dengan menu lapis tadi.

Sonsonan Rasul Mustafa, yaitu sajian dengan menu nasi yang dikelilingi dengan 44 butir telur yang sudah dikupas kulitnya. Sedangkan Sonsonan Jinem diatur dengan menu daging ayam yang bulunya berwarna tiga, yaitu putih, kuning dan hitam. Jinem sendiri sebenarnya adalah nama sebuah kamar di dalam istana. Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa seseorang harus bertafakkur untuk menghilangkan warna hitam (keburukan) dan warna kuning sehingga benar-benar menjadi putih mulus (kebaikan).

Kelima adalah Sonsonan Waliyullah, yakni sajian dengan menu daging ayam yang berbulu putih mulus. Sonsonan ini bermakna akhir perjalanan hidup manusia dalam mencapai keselamatan. Mengisyaratkan bahwa manusia dalam kehidupannya diwarnai dengan prilaku yang beragam antara buruk (hitam) dan baik (putih). Semuanya mengalami proses, dari sifat yang sangat jahat (penuh dosa) dan akhirnya bertaubat menjadi insan yang beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah dan mencintai Rasul-Nya dengan sepenuh hati.

Sonsonan Lima sebagai induk tatulak yang disajikan secara khusus pada wadah tempat penyajian (dulang). Sedangkan sonsonan pengiring disajikan dengan wadah biasa (nare) berupa 744 buah ketupat dengan lauk berupa olahan daging 39 ekor ayam ditambah ala kadar lainnya seperti kue tradisional dan sebagainya.

Sonsonan Lima dan pengirim dibawa ke masjid menjelang waktu subuh. Penyelenggara dan masyarakat beramai-ramai berkumpul di masjid untuk melakukan sholat subuh berjama’ah. Usai sholat, tahlil dan do’a barulah sonsonan lima dan pengiring disajikan dan dinikmati bersama-sama oleh segenap jama’ah dan masyarakat yang hadir.

Kepala Desa Pringgabaya, Lalu Sapri dalam mengapresiasi ritual Tatulak Desa tahun 2014 mengatakan: “Acara yang langka dan bernilai mahal ini, merupakan budaya tradisional leluhur masyarakat Sasak yang sangat sayang kalau sampai hilang.  (Sumber: Duta Selaparang)

Lomba Pepaosan di Kabupaten Lombok Utara

Untuk terus mengupayakan pelestarian tradisi dan budaya daerah, Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (dikbudpora) Kabupaten Lombok Utara (KLU) kembali menggelar lomba pepaosan tingkat kabupaten.

Lomba pepaosan tahun 2011 merupakan tahun kedua sejak mulai diselenggarakan tahun lalu. Lomba kali ini dipusatkan di Rumah Makan Anom Desa Sokong Kecamatan Tanjung pada tanggal 25-26 April 2011, diikuti oleh semua kelompok “pemaos” atau “pemaca” atau dalam bahasa Indonesianya “membaca”.

Ketua panitia lomba pepaosan, Sahti, S.Pd,M.Pd mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat menarik minat generasi muda untuk mewarisi bakat memaos takepan, sehingga mampu menjadi pemaos. Kegiatan ini juga sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan akan tradisi dan budaya KLU. Juga sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai budaya yang dari tahun ketahun hamper punah.

Sementara itu, salah seorang budayawan KLU yang juga selaku dewan juri lomba pepaosan ini, Datu Artadi menjelaskan bahwa semua tembang atau cerita yang dibaca peserta menceritakan tentang segala kearifan local yang mengandung pesan moral dan estetika tinggi.

“Semua tembang yang dibacakan merupakan ajakan dan ajaran kepada semua ummat manusia tentang bagaimana cara berprilaku santun kepada sesame, dan diharapkan mampu menciptakan transformasi nilai-nilai keluhuran dan kepribadian yang agung,” katanya.

Jenis tembang yang dilombakan diantaranya tembang asmaradana, tembang sinom, tembang durma, tembang mijil, tembang dandanggula dan sebagainya, yang ksesemuanya diambil dari berbagai takepan atau daun lontar seperti Kitab Indar Jaya, Kitab Prodaksina, Kitab Bang bari dan Kitab Tapel Adam.

(dnu/Radar Lombok, 23-04-2011)

Pesta Adat Rebo Bontong

Upacara adat Rebo Bontong sebagai tradisi yang dirayakan rutin setiap tahun oleh masyarakat Pringgabaya Lombok Timur yang biasanya diselenggarakan pada Rabu terakhir bulan Shafar. Upacara adat yang selalu menarik perhatian penduduk sekitar dan banyak pengunjung dari luar wilayah ini yang turut hadir meramaikannya.

Berbagai kegiatan digelar menjelang acara puncak perayaan. Semua kegiatan dipusatkan di Pantai Ketapang Pringgabaya, sekitar 3 km dari pasar Pringgabaya.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana Peringatan Rebo Bontong, Judan Putrabaya, SH, kegiatan mulai dilaksanakan sejak minggu malam 30 Januari 2011, dengan menggelar berbagai hiburan rakyat seperti pentas seni, perlombaan dan berbagai kegiatan lainnya yang turut memeriahkan pesta tahunan rakyat Pringgabaya ini.

Pada malam kedua, diadakan 3 hiburan sekaligus yang mengundang perhatian banyak penonton, yaitu pemutaran film layar tancap, pentas kesenian Cupak Gerantang dan cilokak Prima Band.

Pada siang keesokan harinya diadakan berbagai kegiatan, misalnya pacuan kuda pinggir pantai yang diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai kabupaten di pulau Lombok. Acara ini menjadi sangat menarik dan merupakan acara rutin menjelang acara puncak.

Sekitar 40 ekor kuda diikutkan dalam lomba pacuan ini. Selain untuk berlatih ketangkasan dan kecepatan, juga ajang ini sebagai promosi dan ajang jual beli kuda pacuan. Acara ini sangat menarik, karena pacuan kud pinggir pantai Ketapang merupakan satu-satunya di NTB yang dilaksanakan di Ketapang, Pringgabaya.

Acara puncak dilaksanakan pada hari Rabu 2 Februari 2011. Dan malam hari sebelum acara puncak dilaksanakan, digelar pula berbagai hiburan rakyat seperti karaoke, tari kreasi, wayang kulit, parade gendang blek dan pementasan Jumpring Band.

Acara puncak dibuka oleh Bupati Lombok Timur, dan beliau berharap, budaya tradisional ini dilestarikan selain untuk kelestarian seni budaya Sasak, juga sekaligus sebagai ajang promosi budaya Lombok dan NTB pada umumnya. Lebih-lebih saat ini NTB sudah mencanangkan Visit Lombok Sumbawa 2010 yang akan terus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. (lal)

(Sumber : Radar Lombok)