Arsip Kategori: Sejarah

Masjid Nurul Iman – Pelonggo

3 Nurul Iman (2)Masjid Nurul Iman merupakan salah satu masjid terletak di wilayah terpencil, yaitu Kampung Pelonggo Dusun Batu Basong I yang merupakan perbatasan dengan desa Perigi. Pelonggo adalah sebuah RT yang kini dihuni oleh sekitar 29 KK atau 82 jiwa yang 100 persen penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani lahan kering (ladang) yang mengandalkan hujan sebagai pengairan utama.

Penduduk dengan jumlah yang tidak banyak itu berkat semangat kebersamaan dan keta’atan beragama mampu membangun sebuah masjid permanen dengan swadaya murni masyarakat. Masjid Nurul Iman pertama kali dibangun dengan sederhana berupa santren atau musholla berukuran 4×6 meter dengan dinding bata mentah dan atap alang-alang pada tahun 1980-an, oleh sekitar 6-10 KK pada waktu itu.  Semua penduduk itu pun bertempat tinggal saling berjauhan karena mereka menjaga ladangnya masing-masing. Umumnya mereka lebih banyak tinggal di ladang daripada tinggal di rumah di kampung/desanya. Mereka berasal dari Desa Suntalangu, Desa Ketangga dan Desa Perigi. Mushalla ini selain dipergunakan sebagai tempat mengajar anak-anak mengaji yang tinggal menetap (nandah), sekaligus difungsikan sebagai tempat sholat lima waktu dan sholat jum’at baik oleh penduduk yang menetap maupun keluarga yang sedang bercocok tanam di ladang masing-masing.

Beberapa dari mereka ada yang memutuskan untuk kembali ke kampung atau meninggalkan ladang dan sebagian yang tinggal kemudian terkonsentrasi pada satu tempat/lingkungan, sehingga lambat laun menyatu menjadi perkampungan yang kini dihuni oleh 29 KK tersebut.

Pada tahun 1991 warga setempat berhasil mengumpulkan dana untuk membangun masjid di atas areal seluas 400 meter persegi. Masjid berukuran 9 x 12 meter itu dibangun setahap demi setahap sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.  Dalam jangka waktu 5 tahun, tepatnya tahun 1996 bangunan masjid Nurul Iman Pelonggo diresmikan, walaupun selama pembangunan, masjid tersebut tetap difungsikan sebagai pusat kegiatan ibadah masyarakat.

3 Nurul Iman (1)Karena letaknya yang terpencil, permasalahan utama yang dihadapi masyarakat adalah kekurangan air bersih untuk wudhu, mengingat ketersediaan air untuk mandi, mencuci dan memasak di kampung tersebut sangat terbatas. Satu-satunya sumber air yang dipakai sehari-hari adalah buangan dari mata air Lemor yang dialirkan melalui pipa oleh masyarakat Dusun Lelonggek dan dialirkan juga ke Pelonggo dengan pipa kecil, sehingga keberadaan air bersih disana masih jauh dari kebutuhan masyarakat.

Pada tahun 2006 dibentuk pengurus/takmir masjid dan merebot melalui musyawarah, dengan susunan sebagai berikut:

Ketua                    : Mq. Dian

Wakil Ketua         : Aq. Rohaeniah

Sekretaris             : Aq. Sandri

Bendahara           : Aq. Haerun

Marbot                 : Aq. Syafi’i

Masjid Jami’ussholah

2 Masjid Jami' (5)Masjid tertua di Desa Suntalangu adalah masjid Jami’ussholah yang dibangun sejak pra kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1900-an di Desa Suntalangu (ketika itu masih merupakan kampung kecil) sudah berdiri sebuah mushalla yang letaknya persis pada bangunan Kantor Kepala Desa sekarang, demikian salah seorang tetua desa yang masih hidup sampai sekarang memulai ceritanya.

Amaq Nurijab, ketika diwawancara oleh staf desa (Rusman Hakim, Kaur Pemerintahan) mengaku lahir sekitar tahun 1911. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan ulama pertama dan terkemuka di Desa Suntalangu yaitu Datuk Haji Muhammad Isma’il (yang lebih populer dipanggil ‘Ninik Tuan Datuk’).  Amaq Nurijab lebih lanjut mengatakan, Ninik Tuan Datuk menikah sekitar tahun 1923, karena putra pertama beliau yaitu Abdul Mukhtar atau Amaq Mustiarah (mantan Kepala Desa Suntalangu periode 1967-1975 dan 1982-1992) lahir sekitar tahun 1925 dimana ketika itu Amaq Nurijab berusia  sekitar 12 atau 13 tahun.

Hubungannya dengan itu, seperti dikatakan sebelumnya, sejarah berdirinya masjid di desa Suntalangu bermula dari pembangunan mussholla. Selanjutnya musholla tersebut dipindahkan ke Lilir Batu (Mushalla Nurul Jannah) pada tahun 1921. Ketika itu Ninik Tuan Datuk masih menuntut ilmu agama di Kediri-Lombok Barat. Sangat langka orang yang mampu melanjutkan pendidikan pada zaman itu, dan Ninik Tuan Datuk merupakan satu-satunya pemuda dari desa Suntalangu yang berkesempatan melanjutkan pendidikan, terutama pendidikan Islam. Sepulang beliau dari menuntut ilmu sekitar tahun 1922-1923, mulai dimusyawarahkanlah untuk membangun sebuah masjid. Rencana itu baru dapat diwujudkan sekitar tahun 1930-an yang dibangun di lokasi masjid saat ini.

Pembangunan masjid pertama itu, lanjut Amaq Nurijab, masih berbentuk bangunan sangat sederhana, lantai dan tembok dari tanah, atap dari alang-alang. Namun peranannya sangat besar, karena selain sebagai pusat menyebarkan Islam oleh Ninik Tuan Datuk bersama Tuan Guru Haji Zainuddin Arsyad (T.G.HAMZAR) Mamben dan TGH. Idris Pohgading (ketika itu masyarakat masih menganut Islam wetu telu), sekaligus juga tempat menyusun strategi perang jika sewaktu-waktu penjajah Belanda datang ke kampung mereka. Sampai usainya penjajahan Belanda dan diganti dengan pendudukan Jepang pada tahun 1942 bangunan masjid ini masih sederhana, hanya dilakukan pergantian atap alang-alang beberapa kali.

2 Masjid Jami' (6)Setelah Indonesia merdeka dilakukan penataan wilayah di seluruh negeri, termasuk di Lombok. Kampung Batu Basong kemudian statusnya resmi menjadi kekeliangan (setingkat dusun saat ini). Indikasinya, bahwa sekitar tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia tersebut, penduduk Batu Basong sudah semakin banyak. Faktor itu pula yang membangkitkan semangat masyarakat untuk berpikir memiliki masjid yang lebih besar dan permanen. Dibawah pembinaan tokoh masyarakat, akhirnya masjid permanen ini mulai dibangun sekitar tahun 1949 dan baru selesai empat tahun kemudian, yakni tahun 1953. Masjid ini berukuran 15 x 15 meter dan disepakati masjid satu-satunya di Dusun Batu Basong itu bernama “Jami’ush-sholah” (tempat sholat berjama’ah). Dalam kurun waktu berikutnya, masjid Jami’ush-sholah mengalami rehab dan peningkatan bentuk, ukuran serta fasilitas penunjang.

Pada tanggal 12 April 1967, Dusun Batu Basong mekar dari Desa Ketangga menjadi desa tersendiri. Seiring dengan itu, masjid jami’ ini secara berkala dilakukan rehab demi rehab dan memiliki telaga (kolam) sebagai penampung air tempat mandi dan berwudlu’. Sampai tahun 1982-1983 ketika desa Suntalangu dan sekitarnya mendapat bantuan perpipaan air bersih dari CARE International, telaga masjid ini tetap difungsikan, walaupun disebelahnya telah dibangunkan bak penampungan air. Terakhir pada tahun 1996 terjadi rehab terakhir masjid dan diperluas sehingga telaga tersebut ditimbun dan diganti dengan bak atau jedeng. Dengan perluasan ini masjid Jami’ush-sholah menjadi 20 x 20 meter persegi.

Sejak tahun 2011-2012 mulai dilakukan rehab total dengan membangun masjid modern berukuran 22 x 22 meter dan berlantai dua. Sampai profil ini disusun, pembangunan masih berlangsung dan baru selesai sekitar 80 persen.

Susunan Pengurus Masjid hingga saat ini:

Ketua                    : H.M. Sholihin

Wakil Ketua         : H. Saparudin, S.Pd.

Sekretaris             : Zaeluddin, S.Ag.

Bendahara           : Drs. Saprin

Marbot                 : Aq. Nurhayati

RITUAL REBO BONTONG (BUNTUNG)

Ritual Rebo Bontong (Rebo Buntung) merupakan Tradisi Budaya masyarakat Desa Pringgabaya yang dipusatkan di Dusun Ketapang (Daerah Pesisir Pantai) sejak berabad-abad lamanya secara turun-temurun.  Diadakan tiap tahun  dalam kurun waktu minggu keempat bulan Safar.  Ritual ini merupakan  perwujudan ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt dan bersinergi dengan ungkapan kebersamaan serta menjunjung tinggi  kelestarian kearifan lokal Pantai Pesisir, sebagai bagian dari SDA yang memberi banyak manfaat bagi kemaslahatan ummat Manusia.

Sementara pada bulan Safar diadakan  Ritual Rebo Buntung, dan Tetulak Tamperan pada minggu keempat. Ritual Rebo Buntung yang dilaksanakan secara sistematis merupakan Tradisi Budaya masyarkat Suku Sasak khususnya di Desa Pringgabaya yang mengandung nilai luhur dan filosofi kehidupan sebagai masyarakat yang berbudaya dan beragama. Terdapat adanya kesadaran yang tinggi  sebagai makhluk sosial dalam menata diri dan lingkungan sekitar dalam nuansa keseimbangan dan keselarasan untuk kemudian  segalanya  kembali kepada Sang Khaliq.

Rebo Buntung, dalam penanggalan Hijriah menurut tokoh  masyarakat Islam suku Sasak terdahulu, merupakan  bulan Safar yang berakhir pada hari Rabu ba’da Ashar (sebelum Magrib tiba) yang langsung disambut oleh masuknya awal bulan Rabi’ul Awal. Sehingga nampak sebagai hari Rabu yang terpotong (Sasak: buntung). Kondisi tersebut  diyakini akan turun bala’ berupa penyakit, sehingga masyarakat diingatkan untuk betul-betul berserah diri kepada Allah Swt. dengan peningkatan Ibadah dan amal shaleh.

Rebo Buntung1Oleh para tokoh masyarakat Islam (pesisir pantai) kemudian melakukan  kegiatan yang  dikenal sebagai Ritual Rebo Buntung. Persiapannya dimulai ba’da ashar ditandai dengan pembacaan Takepan Tapel Adam (seperti saat Tatulak Desa) dan pembuatan Sonsonan 7 (sonsonan 5 pada Tatulak Desa) serta ancak sesaji hingga menjelang waktu subuh. Selanjutnya ancak sesaji diarak ke pesisir pantai untuk dilepas/dibuang ke tengah arus ombak laut. Ritual ini kemudian dikenal sebagai  Ritual Rebo Buntung.

Pada hari Rebo Buntung ini, masyarakat dianjurkan untuk tidak ringgal di rumah, dalam artian masyarakat diingatkan untuk menghormati Ritual Rebo Buntung yang puncak acaranya dilaksanakan di pesisir pantai. Selanjutnya masyarakat pun dapat menikmati indahnya hawa segar pantai sambil mandi. Kejadian ini sangat langka, dan menjadi tradisi bagi masyarakat Suku Sasak khususnya di Dusun Pesisir Ketapang Desa Pringgabaya untuk melaksanakannya rutin setiap tahun. Kegiatan seperti ini juga dilakukan di pantai Lombok Utara yang dikenal sebagai  ritual mandi shafar, meskipun tanpa acara seperti di Pantai Tanjung Menangis Dusun Ketapang Desa Pringgabaya.

Makna filosofi yang terkandung dalam ritual Rebo Buntung dapat diketahui dari penuturan tokoh masyarakat. Ancak (dalam bentuk tandu berhias janur) berisikan sesajian aneka kebutuhan berupa hasil bumi baik dalam keadaan segar maupun olahan, mulai dari beras-berasan, kue/jajanan tradisional hingga buah-buahan. Ancak inilah yang dibuang ke laut diawali dengan pembuangan kepala kerbau. Sepintas memang berbau mistis yang dipandang sebagai sesajian bagi penguasa laut (seperti kepercayaan yang banyak berkembang di tengah masyarakat), namun sebenarnya itu semua sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. dengan perwujudan berbagi rizqi kepada masyarakat di sekitar wilayah pantai, tak ketinggalan berbagi dengan lingkungan laut (seperti ikan dll) sebagai sarana utama dan sebagai tempat/lahan dalam mencari rizqi. Sebagai ummat beragama, dengan berbagi di Rebo Buntung ini diharapkan kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat mendapat \ridlo dan keberkahan dari Allah Swt.

Rebo BuntungDalam kerangka perspektif budaya, ritual Rebo Buntung merupakan asset budaya daerah yang potensial sehingga keberadaannya ikut memperkaya khazanah budaya daerah sebagai penyusun kekuatan khazanah budaya nasional bangsa dan tanah air Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai salah satu Budaya peninggalan masa lalu yang banyak mengandung nilai-nilai luhur, bernilai sangat positif  bagi masyarakat dan generasi masa mendatang dalam rangka menata diri dan lingkungan. Termasuk mengambil hikmah dari nilai luhur peninggalan budaya masa lampau yang banyak mengandung pesan moral.

Ritual Rebo Buntung adalah Refleksi jiwa warga Suku Sasak sebagai bagian masyarakat yang berbudaya dan beragama. Sebagai bagian dari perwujudan tatanan pemikiran menuju  keseimbangan diri dan lingkungan sekitar yang tertata harmonis dengan mengedepankan kearifan lokal, maka keberadaannya sangat potensial sebagai khazanah budaya yang mengandung pesan moral dan  adat-istiadat dalam bingkai budaya religi. Menjaga dan melestarikannya merupakan upaya bijaksana dalam menghadapi arus globalisasi dan bahkan bersinggungan dengan aspek kehidupan sebagai masyarakat sosial.

Adalah momentum yang efektif dalam menumbuhkembangkan sikap dan sifat toleransi serta cinta jati diri sebagai masyarakat Gumi Paer Selaparang yang dikenal berbudaya dan beragama.  Berbagai budaya etnis/suku Sasak pun diperkenalkan menjelang acara puncak ritual Rebo Buntung diantaranya pertunjukan wayang kulit dengan lampan/cerita Serat Menak (Perjuangan menegakkan agama Islam dalam menghadapi kemungkaran kaum kafir) dari Desa Terara, Peresean serta pagelaran gamelan/gendang beleq.

Momentum rebo buntung sangat tepat untuk mengapresiasi dan menginterpretasi produk dan nilai-nilai budaya dalam rangka menumbuhkembangkan aktivitas dan kreativitas masyarakat pada umumnya dan generasi muda khususnya. Dengan demikian masyarakat suku Sasak kedepan tidak larut dengan pluralisme zaman yang akhirnya kehilangan pedoman dan pandangan hidup. Masyarakat juga mampu menunjukkan jati diri sebagai bagian dari bangsa yang berbudaya dan beragama.

Jika Lombok Tengah ikon pariwisatanya terkenal dengan “Ritual Bau Nyale” maka Lombok Timur memiliki Ritual Tatulak Desa dan Rebo Buntung. Maka, sebagai ikon pariwisata Lombok Timur, harus ada upaya lebih giat lagi untuk memperkenalkan ritual Rebo Buntung kepada khalayak ramai.

Rebo Buntung adalah budaya daerah suku Sasak tempo dulu yang potensial dijadikan sebagai bahan refrensi dan acuan serta bagian dari pijakan dalam menata kelola kehidupan bermasyarakat. Ritual Rebo Buntung sangat relevan dengan wisata bahari yang digaungkan dan diprogramkan oleh pemerintah negeri ini, yaitu memajukan dan mengembangkan kawasan Pantai. (Sumber: Duta Selaparang)

Budaya: Tatulak Desa

Tak banyak tradisi budaya leluhur Suku Bangsa Sasak yang masih terjaga sampai saat ini. Dari yang sedikit tersisa dan nyaris punah tersebut adalah ritual “Tatulak Desa” yang masih rutin diselenggarakan setiap tahun.

Sebagai salah satu budaya peninggalan leluhur, Tatulak Desa merupakan sebuah kegiatan yang mengandung makna filosofi budaya dan keagamaan. Budaya ini diperkirakan lahir pada masa Kerajaan Islam Selaparang. Ketika itu nuansa budaya yang dicirikan dengan bahasa Kawi (Jejawen Sasak) masih tersimpan segar dalam memori warga masyarakat Sasak yang kala itu sudah memeluk agama Islam.

Ritual yang masih dibudayakan oleh masyarakat terutama di Dusun Belawong Desa Pringgabaya Lombok Timur ini konon merupakan sebuah upacara turun temurun yang dilaksanakan setiap tahun. Konon ketika itu, di Gumi Paer Lombok sedang merajalela kejahatan seperti perampokan, pencurian dan perompakan, terutama terjadi di daerah pesisir pantai. Oleh raja Lombok waktu itu, diperintahkanlah kepada masyarakat untuk pindah ke tempat yang lebih aman untuk bertafakkur, mohon petunjuk dari Sang Pencipta. Hasil dari tafakkur itu kemudian menyebutkan adanya perintah untuk berkurban dengan menyembelih 44 ekor ayam.

LontarPara tokoh agama dan masyarakat waktu itu membuat suatu kegiatan yang bermakna filosofi  kehidupan untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Agar kegiatan bernilai syiar dan mencerminkan kebersamaan, maka dipilihlah waktu yang tepat. Kemudian diputuskan untuk melaksanakan kegiatan setiap hari Senin atau Rabu pada minggu pertama bulan Muharram.

“Ta” dalam Tatulak berarti kita. Tulak berarti kembali, sehingga “tatulak” diartikan sebagai “kita kembali” (ke jalan yang benar). Makna filosofi dari tatulak desa adalah mengajak kepada seluruh warga untuk meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Acara diawali dengan pembacaan Takepan Tapel Adam yakni naskah lontar bertuliskan huruf Kawi sejak siang hari hingga menjelang subuh keesokannya. Naskah lontar ini berisikan pesan tentang asal kejadian manusia, sejarah kehidupan dan peradabannya mulai dari Nabi Adam dan seterusnya.

Acara dilanjutkan dengan mengantar sajian ke masjid yang disebut Sonsonan Lima yang merupakan simbol kembalinya prilaku manusia dari alah kejahatan menuju kepada yang hak (kebenaran). Sonsonan Lima merupakan simbol watak dan nafsu kejahatan manusia yang dilambangkan dengan warna hitam, kemudian berangsur-angsur membaik. Mula-mula berubah menjadi loreng dan berakhir dengan warna putih, yakni ketika watak manusia itu kembali ke jalan yang benar atau kebaikan. Sonsonan Lima terdiri dari Sonsonan Ratu, Sonsonan Pangeran Ratu, Sonsonan Rasul Mustafa, Sonsonan Jinem dan Sosnsonan Waliyullah.

Sonsonan Ratu yakni sajian dengan menu daging ayam warna bulu hitam mulus, dibakar dan dipanggang. Daging ayam ini ditaruh diatas nasi tatulak.

Sonsonan Pangeran Ratu berupa sajian dengan menu tiga lapis yang terdiri dari nasi ketan, daging ayam dan telur yang digoreng. Sajian ini diatur hingga 8 lapisan dalam sebuah piring besar (nasik kuning). Daging ayam yang dipakai pada sajian ini adalah ayam dengan bulu campuran yaitu merah dan kuning (bengkuning) berusia muda (mendara). Dagingnya dirobek kecil-kecil, dibuang tulangnya dan dibalut dengan gula merah (gegulik) untuk selanjutnya diletakkan bersamaan dengan menu lapis tadi.

Sonsonan Rasul Mustafa, yaitu sajian dengan menu nasi yang dikelilingi dengan 44 butir telur yang sudah dikupas kulitnya. Sedangkan Sonsonan Jinem diatur dengan menu daging ayam yang bulunya berwarna tiga, yaitu putih, kuning dan hitam. Jinem sendiri sebenarnya adalah nama sebuah kamar di dalam istana. Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa seseorang harus bertafakkur untuk menghilangkan warna hitam (keburukan) dan warna kuning sehingga benar-benar menjadi putih mulus (kebaikan).

Kelima adalah Sonsonan Waliyullah, yakni sajian dengan menu daging ayam yang berbulu putih mulus. Sonsonan ini bermakna akhir perjalanan hidup manusia dalam mencapai keselamatan. Mengisyaratkan bahwa manusia dalam kehidupannya diwarnai dengan prilaku yang beragam antara buruk (hitam) dan baik (putih). Semuanya mengalami proses, dari sifat yang sangat jahat (penuh dosa) dan akhirnya bertaubat menjadi insan yang beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah dan mencintai Rasul-Nya dengan sepenuh hati.

Sonsonan Lima sebagai induk tatulak yang disajikan secara khusus pada wadah tempat penyajian (dulang). Sedangkan sonsonan pengiring disajikan dengan wadah biasa (nare) berupa 744 buah ketupat dengan lauk berupa olahan daging 39 ekor ayam ditambah ala kadar lainnya seperti kue tradisional dan sebagainya.

Sonsonan Lima dan pengirim dibawa ke masjid menjelang waktu subuh. Penyelenggara dan masyarakat beramai-ramai berkumpul di masjid untuk melakukan sholat subuh berjama’ah. Usai sholat, tahlil dan do’a barulah sonsonan lima dan pengiring disajikan dan dinikmati bersama-sama oleh segenap jama’ah dan masyarakat yang hadir.

Kepala Desa Pringgabaya, Lalu Sapri dalam mengapresiasi ritual Tatulak Desa tahun 2014 mengatakan: “Acara yang langka dan bernilai mahal ini, merupakan budaya tradisional leluhur masyarakat Sasak yang sangat sayang kalau sampai hilang.  (Sumber: Duta Selaparang)

Menuju Keputusan Hari Jadi Lombok Timur (3)

Lombok Timur Dari Bupati ke Bupati

Bupati Lotim11.  Idris H.M. Djafar (1 November 1958 – 2 Juli 1960)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maka daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat terbentuk. Disusul dengan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958, tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dalam wilayah Tingkat I NTB yang terdiri dari 6 (enam) Daerah Tingkat II, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Bima, Sumbawa dan Dompu. Oleh karena itu, secara yuridis formal daerah Swatantra Tingkat II Lombok Timur terbentuk pada tanggal 14 Agustus 1958.

Pembentukan daerah Swatantra Tingkat II lombok Timur secara nyata dimulai dengan diangkatnya seorang Pejabat Sementara Kepala Daerah Tk II Lombok Timur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.7/14/34/1958 tanggal 29 Oktober 1958 yaitu Idris H.M. Djafar terhitung 1 Nopember 1958.

2.  Lalu Muslihin (2 Juli 1960 – 24 November 1966)

Ketentuan menetapkan bahwa setelah terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat II Lombok Timur maka selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun pejabat sementara Kepala Daerah harus sudah membentuk Badan Legislatif (DPRD) yang akan memilih Kepala Daerah yang definitif. Dengan terbentuknya DPRD maka pada tanggal 29 Juli 1959 DPRD Lombok Timur berhasil memilih Anggota Dewan Pemerintah Daerah Peralihan yaitu Mamiq Djamilah, H.M. Yusi Muchsin Aminullah, Yakim, Abdul Hakim dan Ratmawa.

Dalam perkembangan berikutnya DPRD Daswati II Lombok Timur dengan keputusan Nomor 1/5/II/104/1960 tanggal 9 April 1960 mencalonkan dan mengusulkan L. Muslihin sebagai Kepala Daerah yang kemudian mendapat persetujuan pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.7/12/41-1602 tanggal 2 Juli 1960. Dengan demikian L. Muslihin adalah Bupati Kepala Daerah Lombok Timur yang pertama sebagai hasil pemilihan oleh DPRD Tingkat II Lombok Timur. Jabatan tersebut berakhir sampai 24 Nopember 1966.

Pada masa pemerintahan L. Muslihin, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTB tanggal 16 Mei 1965 Nomor 228/Pem.20/1/12 diadakan pemekaran dari 5 distrik menjadi 18 distrik (Kecamatan) yang membawahi 73 desa, yaitu Kecamatan Selong, Dasan Lekong, Tanjung, Suralaga, Rumbuk, Sakra, Keruak, Apitaik, Montong Betok, Sikur, Lendang Nangka, Kotaraja, Masbagik, Aikmel, Wanasaba, Pringgabaya, Sambelia dan Terara.

3.  Rahadi Tjipto Wardoyo (24 November 1966 – 15 Agustus 1967)

Dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor UP.14/8/37-1702 tanggal 24 Nopember 1966 masa jabatan L. Muslihin berakhir dan diganti oleh Rahadi Tjipto Wardoyo sebagai pejabat Bupati sampai dengan 15 Agustus 1967.

4.  R. Roesli (15 Agustus 1967 – 7 Februari 1979)

Dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UP.9/2/15-1138 tanggal 15 Agustus 1967 diangkatlah R.Roesdi menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Timur kedua yang definitif. Pada masa pemerintahan R. Roesdi dibentuk alat-alat kelengkapan Pemerintah Daerah seperti Badan Pemerintah Harian dengan anggota H.L.Moh. Imran, BA, Mustafa, Hasan, L. Fihir dan Moh. Amin.

Pada periode ini atas pertimbangan efisiensi dan rentang kendali pengawasan serta terbatasnya sarana dan prasarana maupun personil diadakanlah penyederhanaan kecamatan dari 18 menjadi 10 kecamatan yaitu Kecamatan Selong, Sukamulia, Sakra, Keruak, Terara, Sikur, Masbagik, Aikmel, Pringgabaya dan Sambelia.

Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor Pemda/7/18/15-470 tanggal 10 Nopember 1973 masa jabatan R. Roesdi selaku Bupati KDH Tingkat II Lombok Timur diperpanjang untuk masa jabatan kedua. Kemudian dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, kedudukan Bupati dipertegas sebagai penguasa tunggal di daerah sekaligus sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Pada periode ini dibentuk Sekretariat Wilayah/Daerah sebagai pelaksana UU Nomor 5 tahun 1974. Pemerintah kecamatan pada masa ini masih tetap 10 kecamatan sedangkan desa berjumlah 96 dengan rincian desa swakarsa 91, swadaya 2 dan swasembada 3 desa. Jumlah dinas 6 buah yaitu Dinas Pertanian Rakyat, Perikanan, Perkebunan, Kesehatan, PU dan Dispenda sedangkan instansi vertikal 19 buah.

5.  Saparwadi (7 Februari 1979 – 13 Maret 1987)

Selanjutnya pada periode 1979-1988 Bupati KDH Tingkat II Lombok Timur dijabat oleh Saparwadi yang ditetapkan melalui SK Menteri Dalam Negeri Nomor Pem.7/4/31 tanggal 7 Februari 1979. Jabatan ini dipangku selama 2 periode namun berakhir sebelum waktunya karena beliau meninggal dunia pada 13 Maret 1987. Pada periode ini terjadi pergantian Sekwilda dari Moh. Amin kepada Drs. L. Djafar Suryadi.

6.  Drs. L. Djafar Suryadi (13 Maret 1987 – 13 Juli 1988)

Oleh karena meninggalnya Saparwadi maka oleh Gubernur NTB Gatot Suherman ditunjuk Sekwilda H. L. Djafar Surayadi sebagai Pelaksana Tugas Bupati Lombok Timur dengan SK Nomor 314 tahun 1987 tanggal 21 Desember 1987.

6. Abdul Kadir (13 Juli 1988 – 1993)

Kemudian dengan keputusan DPRD Nomor 033/SK.DPRD/6/1988, DPRD berhasil memilih calon Bupati Kepala Daerah yaitu Abdul Kadir dengan 36 suara, H.L.Ratmawa 5 suara dan Drs. H. Abdul Hakim 4 suara, dengan demikian maka Abdul Kadir berhak menduduki jabatan sebagai Bupati Lombok Timur sesuai SK Mendagri Nomor 131.62-556 tanggal 13 Juli 1988, jabatan ini berakhir sampai tahun 1993. Pada tahun 1989 terjadi pergantian Sekwilda dari Drs. Djafar Suryadi kepada Drs. H. L. Fikri yang dilantik 23 Nopember 1989.

7.  Moch. Sadir (28 Juli 1993 – 1999)

Periode berikutnya tahun 1993-1998 Bupati Lombok Timur dijabat Moch. Sadir yang ditetapkan dengan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 131.61-608 tanggal 3 Juli 1993 dan dilantik 28 Juli 1993. Pada masa kepemimpinan nya dibangun Wisma Haji Selong, Taman Kota Selong, Pintu Gerbang Selamat Datang serta Kolam Renang Tirta Karya Rinjani. Pada periode ini H.L. Fikri selaku Sekwilda ditarik ke Propinsi untuk sementara menunggu Sekwilda yang definitif ditunjuklah Moch. Aminuddin,BA Ketua BAPPEDA saat itu sebagai Pelaksana Tugas Sekwilda sampai dengan dilantiknya H. Syahdan, SH.,SIP. sebagai Sekwilda definif berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 862.212.2-576 tanggal 8 Februari 1996.

8.  H. Syahdan, SH.,SIP (1999 – 2003)

Ditengah situasi negara yang sedang dilanda berbagai krisis dan berhembusnya era reformasi yang ditandai berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI pada bulan Mei 1998, bulan Agustus 1998 DPRD Dati II Lotim berdasarkan hasil Pemilu 1997 megadakan pemilihan Bupati Lombok Timur masa bakti 1999-2003. Tiga calon Bupati saat itu adalah H. Moch. Ali Bin Dachlan, SH,Achman Muzahar, SH dan H. Syahdan, SH.,SIP. Dalam pemilihan itu H. Syahdan, SH.,SIP. terpilih sebagai Bupati dengan memperoleh suara 23, H. Moch. Ali Bin Dachlan, SH, meperoleh 21 suara sedangkan Achman Muzahar, SH tidak mendapat suara.

Pada kepemimpinan H. Syahdan, SH jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) dijabat oleh H. L. Kamaluddin, SH yang dilantik berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 862.212.2-2145 tanggal 26 Mei 1999.

9. H. Moh. Ali bin Dachlan (2003 – 2008)

Sebagai dampak bergulirnya era reformasi pada tahun 1999 dilaksanakan pemilihan umum diseluruh Indonesia termasuk di Kabupaten Lombok Timur yang diikuti banyak partai politik. Dari hasil Pemilu 1999 di Lombok Timur berhasil membentuk DPRD periode 1999-2004. Pada periode ini berlangsung suksesi kepemimpinan Bupati Lombok Timur. DPRD berhasil menetapkan 5 pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada pemilihan yang berlangsung sangat demokratis ini berhasil terpilih H. Moh. Ali Bin Dachlan sebagai Bupati Lombok Timur dan H. Rachmat Suhardi, SH sebagai Wakil Bupati Lombok Timur untuk masa bakti 2003-2008. Pasangan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah ini dilantik oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 131.62-462 Tahun 2003 dan Nomor: 132.62-463 Tahun 2003 tertanggal 27 Agustus 2003.

Tahun 2004 berlangsung pemilihan umum anggota DPR/DPD, DPRD I, DPRD II, termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk Kabupaten Lombok Timur berhasil terbentuk DPRD Periode 2004-2009 dan dilantik pada tanggal 5 Agustus 2004, sedangkan Pimpinan DPRD dilantik pada tanggal 18 Mei 2005 dengan Ketua H. M. Syamsul Luthfi, SE, Wakil Ketua TGH. Nasruddin dan H. Syamsuddin Gahtan. Pada tahun 2006 berlangsung pergantian jabatan Sekretaris Daerah dari H. L. Kamaluddin, SH kepada penggantinya L. Nirwan, SH.

10.  H.M. Sukiman Azmy (2008 – 2013)

Pada tanggal 7 Juli 2008 Lombok Timur melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menetapkan 3 (tiga) pasangan Calon Kepala Daerah. Berdasarkan hasil rapat rekapitulasi perhitungan suara oleh KPUD Lotim, pasangan H.M. Sukiman Azmy dan H.M. Syamsul Luthfi (SUFI) meraih suara terbanyak yakni 49,90 persen suara. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 131.52 – 650 Tahun 2008 pasangan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah ini dilantik oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur masa bhakti 2008-2013.

Pada masa ini terjadi pemekaran kecamatan dan desa secara besar-besaran, sehingga sampai akhir 2012 jumlah kecamatan di Lombok Timur 20 dan desa/kelurahan sebanyak 255. Untuk pemekaran Kabupaten mesih dalam proses pembentukan Kabupaten Lombok Selatan (KLS) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan DPR RI. Pada masa ini pula berlangsung pergantian jabatan Sekretaris Daerah dari L. Nirwan, SH. Digantikan oleh Usman Muhsan, SH.

(Sumber: Website Pemkab Lotim/Humas)

Menggali Identitas Menuju Hari Jadi Lombok Timur (2)

Naskah akademis Hari Jadi Lombok Timur (HJLT) sudah diserahkan kepada Bupati Lombok Timur oleh Tim Perumus, untuk selanjutnya akan diserahkan ke meja dewan untuk dibahas. Karena menurut tim perumus bahwa hari jadi merupakan satu keniscayaan yang perlu segera ditentukan dalam rangka meningkatkan eksistensi dan jati diri suatu daerah yang mengandung makna positif dan penting. Bukan hanya sebagai penanda kapan suatu daerah terbentuk, akan tetapi yang lebih penting adalah HJLT dapat menjadi identitas kesatuan masyarakat daerah Lombok Timur, yang bukan sekedar penanda komunitas, tetapi secara lebih substantif merupakan simbol kesamaan cita-cita, solidaritas sosial dan sumber semangat untuk bangkit membangun diri dan masyarakat dari waktu ke waktu secara berkelanjutan.

Lumbung Oleh karena begitu penting dan luasnya makna yang terkandung pada HJLT, maka penentuannya tidak hanya dilandasi fakta-fakta historis dan juridis dalam proses pembentukannya sebagai sebuah organisasi pemerintahan, akan tetapi juga harus dikaji secara mendalam makna filosofis serta nilai-nilai luhur yang terkandung  didalamnya dan berakar pada sosio-kultural masyarakat.

Suku Bangsa Sasak Lombok Timur

A.  Tinjauan Sosio Anthropologis

Secara teoritis, Suku bangsa Sasak yang mendiami wilayah Lombok Timur terbentuk dari faktor primordiali atau kekerabatan karena kesamaan ras yang lahir dari keturunan atau nenek moyang yang sama, kesamaan keyakinan agama dan tata nilai budaya serta adat istiadat yang dianut oleh masyarakat. Demikian pula dengan sejarah panjang kehidupan suku bangsa Sasak dengan segala pengalamannya menumbuhkan ikatan saling ketergantungan dan rasa senasib sepenanggungan komunitas suku bangsa Sasak Lombok Timur.

Hal in bermakna bahwa, sesungguhnya suku bangsa Sasak Lombok Timur sejak zaman dahulu telah terbentuk identitasnya sebagai suatu suku bangsa. Terbentuknya identitas ini juga tidak terlepas dari pengaruh wilayah (gumi paer) dimana suku bangsa ini berdiam. Pembentukan itu juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan dan teladan.

Seni 1934 (2)B.  Identitas

Pengakuan pengimanan dan ketundukan diri komunitas suku bangsa Sasak terhadap agama Islam sebagai agama tauhid, karena ingin hidup berjalan pada rel yang benar, sebagaimana diajarkan dalam agama Islam. Inilah nilai dasar yang diyakini dan dipegang oelh komunitas suku bangsa Sasak Lombok Timur. Nilai atau prinsip dasar (grand value) ini kemudian dirumuskan dengan sangat indah oleh leluhur suku bangsa Sasak dalam untaian kalimat sederhana “Lomboq Mirah Sasak Adi.”

Lomboq atau Lombo’ menurut ejaan lama berarti lurus/jalan lurus (lombo’ bua’ yaitu lurus bagaikan pohon pinang yang tidak bercabang). Jadi, jalan lurus (shirotol mustaqim) itu adalah jalan kepastian, jalan yang sangat mulia, jalan agung yang nilainya sangat tinggi sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan di dunia dan akhirat yang harus diikuti oleh orang Sasak. Jalan keselamatan itu adalah jalan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Nabi Besar Muhammad SAW yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Prinsip ini mesti dipegang teguh karena ia menjadi sumber norma-norma yang berlaku untuk dipedomani dalam kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat suku bangsa Sasak Lombok Timur.

Mirah adalah sebutan untuk logam atau batu mulia yang anggun, indah dan mahal harganya. Mirah adalah sejati, logam murni atau permata. Mirah sebagai simbol kemuliaan, kemurnian, kesejatian dan sekaligus kemewahan dalam arti kesejahteraan.

Sasak berasal dari kata sa’sa’ atau sai’, sopok, seke’, yakni berarti satu dan satu-satunya.

Adi bermakna sesuatu yang nilainya sangat tinggi (superior/splendidly), dan berarti juga sesuatu yang utama.

Dalam kitab Negara Kertagama yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan Kerajaan Majapahit (kala itu Lombok masuk dalam wilayah Majapahit), kalimat Lomboq Mirah Sasak Adi diterjemahkan secara bebas menjadi “sikap lurus atau kejujuran merupakan satu-satunya permata yang utama.”

C.  Lombok Timur Zaman Penjajahan

Pengkakuan secara yuridis dan de yure atas keberadaan masyarakat suku bangsa Sasak yang mendiami Lombok Timur pada masa penjajahan Hindia Belanda berawal dengan ditetapkannya Pulau Bali dan Pulau Lombok menjadi satu wilayah pemerintahan dengan status keresidenan dengan ibukota Singaraja berdasarkan Staadblad Nomor 123 Tahun 1882.

13 tahun berikutnya, berdasarkan Staadblad Nomor 181 tahun 1895 Pulau Lombok ditetapkan sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Hindia Belanda atau dimekarkan dari Bali. Untuk selanjutnya disempurnakan dengan Saadblad Nomor 183 tahun 1895 tanggal 31 Agustus dimana Lombok diberikan status Afdeeling dengan ibukota Ampenan. Dalam Afdeeling ini Lombok dibagi menjadi dua Onder Afdeeling yaitu Onder Afdeeling Lombok Timur dengan ibukota Sisi’ (Labuhan Haji) dan Onder Afdeeling Lombok Barat dengan ibukota Mataram, masing-masing Onder Afdeeling diperintah oleh seorang Controleur.

Onder Afdeeling Lombok Timur ketika itu dibagi menjadi 7 wilayah kedistrikan, yaitu Pringgabaya, Masbagik, Rarang, Kopang, Sakra, Praya dan Batukliang. Pada tahun 1897 terjadi perlawanan rakyat terhadap Hindia Belanda, yang kemudian dikenal dengan Perang Gandor. Pemimpin rakyat Lombok dalam perlawanan itu adalah Raden Wirasasih dan Mamiq Mustiasih. Akibatnya ibukota Onder Afdeeling Lombok Timur dipindahkan dari Sisi’ ke Selong.

Sedangkan berdasarkan Staatblad Nomor 248 tahun 1898 merubah kembali Afdeeling Lombok yang semula 2 menjadi 3 Onder Afdeeling mengingat penduduk dan perkembangan wilayah yang semakin meningkat. Ketiga Onder Afdeeling tersebut adalah Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Onder Afdeeling Lombok Timur kali ini hanya dibagi dalam 4 kedistrikan, yaitu Rarang, Masbagik, Sakra dan Pringgabaya. Dalam perkembangan berikutnya Rarang dimekarkan lagi menjadi 2, sehingga ada 5 kedistrikan, yaitu :

  1. Rarang Barat dengan ibukota Sikur dipimpin oleh H. Kamaludin
  2. Rarang Timur dengan ibukota Selong dipimpin oleh Lalu Mesir
  3. Masbagik dengan ibukota Masbagik dipimpin oleh H. Mustafa
  4. Sakra dengan ibukota Sakra dipimpin oleh Mamiq Mustiarep, dan
  5. Pringgabaya dengan ibukota Pringgabaya dipimpin oleh L. Moersaid.

Pengakuan secara de yure atau yuridis terhadap eksisitensi Lombok Timur hakikat dan maknanya sangat penting, walapun dilakukan oleh Belanda (penjajah ketika itu), tetapi setidaknya pengakuan ini berarti hak, harkat dan martabat suku bangsa Sasak yang selama ini terjajah dan tertindas diakui secara hukum. Pengakuan sebagai warganegara dan komunitas suku bangsa menjamin dilindunginya hak asasinya. Hak berkeyakinan dan beragama, hak budaya dan wilayah walaupun hak plotik masih sangat terbatas. (Sumber: Humas, Radar Lombok, Website Pemkab)

Mengharap Kepastian Hari Jadi Lombok Timur (1)

Hari jadi atau hari ulang tahun masih dianggap sebagai moment penting yang menandai perjalanan sejarah dan memberi kesan khusus yang dapat dipandang dari berbagai segi dan dapat memberikan berbagai makna. Akan halnya hari jadi suatu daerah, selain kesan tersebut, maka hari jadi  juga sekaligus sebagai moment evaluasi menyeluruh.

Mengawali tahun 2013, Lombok Timur yang selama ini belum ‘mempunyai’ hari jadi yang resmi akan memasuki babak baru, yang ditandai dengan rampungnya naskah akademis dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Hari Jadi Lombok Timur. Naskah akademis dan Raperda yang dilengkapi dengan Buku Pelengkap hasil godokan tim perumus, sudah akan mendapatkan pembahasan DPRD, dan diharapkan dalam waktu dekat sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah, dalam arti hari jadi Lombok Timur resmi diberlakukan.

Dalam pada itu, hari jadi Lombok Timur yang digali berdasarkan pilosofis, sosiologis historis dan yuridis mengemukakan tiga tanggal untuk nantinya salah satu dapat ditetapkan sebagai hari jadi Lombok Timur yang dapat dipertanggungjawabkan dari ketiga aspek tersebut, yaitu 27 April 1895, 31 Agustus 1895 dan 27 Agustus 1898.

Budaya Sangkep merupakan warisan leluhur Suku Sasak
Budaya Sangkep merupakan warisan leluhur Suku Sasak

27 April 1895 berlangsung musyawarah besar antara pemerintah Hindia Belanda dengan para pimpinan atau pemuka masyarakat Sasak untuk merumuskan dan menyepakati nama-nama desa dan kampung serta batas teritorial dan batas wilayah Onder Afdeeling Lombok Barat dan Lombok Timur, yang dituangkan dalam Staadblad Nomor 181 tahun 1895.

31 Agustus 1895 ditetapkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 1 yang termuat dalam Staadblad Nomor 183 tahun 1895 tentang Pulau Lombok dibagi dua menjadi Onder Afdeeling Lombok Timur dengan ibukota Sisi’ dan Onder Afdeeling Lombok Barat dengan ibukota Mataram. Batas wilayah disesuaikan dengan hasil musyawarah besar pada tanggal 27 April 1895, dimana Onder Afdeeling Lombok Timur terdiri dari 7 kedistrikan, yaitu Kedistrikan Pringgabaya, Masbagik, Rarang, Kopang, Sakra, Praya dan Batukliang.

27 Agustus 1898 sesuai yang tertuang dalam Staadblad Nomor 248 dan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 19, yang memutuskan membagi Pulau Lombok menjadi tiga Onder Afdeeling, yaitu Lombok Barat (4 kedistrikan Sasak dan 12 Kedistrikan Bali), Onder Afdeeling Lombok Tengah (kedistrikan Praya, Jonggat, Batukliang dan Kopang) dan Onder Afdeeling Lombok Timur (kedistrikan Rarang, Masbagik, Pringgabaya dan Sakra).

Tim perumus naskah akademis Hari Jadi Lombok Timur terdiri dari kalangan budayawan, akademisi dan birokrat daerah yaitu H. Syahdan, SH,S.IP, MM (Ketua), H. Lalu Satriawan Sahak, SH, SU (Wakil Ketua), H. Sahabudin, MM (Sekretaris), Prof. Dr. Galang Asmara, M.Hum, Dr. Hirsanudin, H. Haryadi Djoewainy, SH, MH, Lalu Ahmad YD, H. Muhsipudin, Drs. H. Islah El Wathan, SH, H. Moh. Djuandi, SH, MH, Lalu Suandi, S.Sos, Drs. Mohzana, MM, A. Haris Ridwan, SH, MH, H. Najamudin, S.Sos, M.Si, Dr. H. Lalu Said Ruhpina, Sh, MS, dan H. Usman Muhsan, SH.

(Sumber: Zar/Humas/Radar Lombok)

Lomba Pepaosan di Kabupaten Lombok Utara

Untuk terus mengupayakan pelestarian tradisi dan budaya daerah, Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (dikbudpora) Kabupaten Lombok Utara (KLU) kembali menggelar lomba pepaosan tingkat kabupaten.

Lomba pepaosan tahun 2011 merupakan tahun kedua sejak mulai diselenggarakan tahun lalu. Lomba kali ini dipusatkan di Rumah Makan Anom Desa Sokong Kecamatan Tanjung pada tanggal 25-26 April 2011, diikuti oleh semua kelompok “pemaos” atau “pemaca” atau dalam bahasa Indonesianya “membaca”.

Ketua panitia lomba pepaosan, Sahti, S.Pd,M.Pd mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat menarik minat generasi muda untuk mewarisi bakat memaos takepan, sehingga mampu menjadi pemaos. Kegiatan ini juga sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan akan tradisi dan budaya KLU. Juga sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai budaya yang dari tahun ketahun hamper punah.

Sementara itu, salah seorang budayawan KLU yang juga selaku dewan juri lomba pepaosan ini, Datu Artadi menjelaskan bahwa semua tembang atau cerita yang dibaca peserta menceritakan tentang segala kearifan local yang mengandung pesan moral dan estetika tinggi.

“Semua tembang yang dibacakan merupakan ajakan dan ajaran kepada semua ummat manusia tentang bagaimana cara berprilaku santun kepada sesame, dan diharapkan mampu menciptakan transformasi nilai-nilai keluhuran dan kepribadian yang agung,” katanya.

Jenis tembang yang dilombakan diantaranya tembang asmaradana, tembang sinom, tembang durma, tembang mijil, tembang dandanggula dan sebagainya, yang ksesemuanya diambil dari berbagai takepan atau daun lontar seperti Kitab Indar Jaya, Kitab Prodaksina, Kitab Bang bari dan Kitab Tapel Adam.

(dnu/Radar Lombok, 23-04-2011)

Yayasan Maraqitta’limat (2)

Sejarah Pembuatan Lambang Yayasan Maraqitta’limat

pada awal berdirinya Yayasan Maraqitta’limat belum mempunyai lambang atau logo/simbol yang resmi. Padahal banyak orang berpendapat bahwa setiap organisasi mestinya harus memiliki lambang sebagai identitas dan sekaligus sebagai wajah bagi jasad. Organisasi tanpa lambang bagaikan jasad tanpa wajah, karena dengan melihat wajahnya kadang-kadang orang sudah mengenal jasadnya. Begitulah sebuah organisasi dengan melihat lambangnya, orang secara otomatis mengenal wadahnya.

Pada periode pertama Yayasan Maraqitta’limat mencetak kartu anggota bagi jama’ah berukuran kartupos, yang didalamnya terdapat dua buah gambar. Disebelah kiri gambar bintang bulan dan sebelah kanan gambar tangan sedang menulis dengan pena, dan diantara kedua gambar itu ada tulisan motto Yayasan Maraqitta’limat.

Lambang dalam kartu anggota inipun belum banyak dikenal masyarakat, karena yang mendapatkan kartu anggota hanya sesepuh/tokoh masyarakat dan beberapa anggota saja. Karena seperti diketahui bahwa pada awalnya perkembangan Yayasan Maraqitta’limat cukup alot dan santai, karena situasi dan kondisi saat itu yang serba terbatas.

Awal tahun 1965, salah seorang pejuang Yayasan Maraqitta’limat yang telah lama mengabdikan tenaganya sebagai guru PGAP 4 tahun waktu itu, Ust. H. Arief Munawir mencetuskan ide untuk membuat lambang Yayasan Maraqitta’limat bersama rekan-rekannya seperjuangan seperti Ust. H. Abdul Mannan, H. Ahmad Qusyairi dan lain-lain. Ide tersebut kemudian disampaikan kepada pimpinan pusat Bp. TGH. M. Zainuddin Arsyad.

Pada malam Jum’at, 23 Maret 1965 pada saat acara musyawarah pengurus di rumah pimpinan pusat yang kebetulan membicarakan tentang pembentukan seksi-seksi atau pembagian tugas dalam tubuh Yayasan Maraqitta’limat dengan maksud untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas dan kerja pengurus.

Ide pembuatan lambang yang digagas tadi kemudian diusulkan kepada pimpinan pusat pada malam Senin tanggal 28 Maret 1965/26 Dzulqoidah 1384 H. Pimpinan pusat setuju untuk membuat lambang yayasan, seraya berpesan kepada Ust. Arief Munawir dan Ust. H. Abdul Mannan,”Silakan segera buat konsep lambang Yayasan kita. Jangan lupa pada lambang tersebut cantumkan gambar bulan bintang dan tangan menulis dengan pena. Jangan pula dihilangkan tulisan :

Kalau sudah selesai terus bawa kemari untuk kita pelajari bersama”.

Berdasarkan petunjuk pimpinan pusat, Ust. Arief Munawir membuat lambang Yayasan Maraqitta’limat. Setelah bersusah payah merancang dan memikirkan bentuknya, maka empat hari kemudian lambang tersebut sudah selesai dibuat, hanya dengan satu kali revisi, yakni pada ujung pena yang haris menyentuh ujung huruf mim pada kata ya’lam. Setelah diajukan kedua kalinya setelah direvisi kepada pimpinan pusat, maka TGH.M. Zainuddin Arsyad menerima dan menyetujui untuk dijadikan sebagai lambang resmi Yayasan Maraqitta’limat yang kita kenal hingga saat ini. Sehingga secara historis, lambang Yayasan Maraqitta’limat resmi disetujui dan dipakai pada tanggal 01 April 1965.

 

Makna Lambang Yayasan Maraqitta’limat

Setiap lambang atau simbol, tidak terlihat begitu saja menurut bentuk lahirnya saja, melainkan juga mengandung banyak makna yang tersembunyi di dalamnya, sesuai dengan tujuan dan cita-cita organisasi atau yayasan.

Lambang Yayasan Maraqitta’limat setelah disetujui oleh pimpinan pusat pada tanggal 01 April 1965, beliau kemudian menjelaskan makna masing-masing komponen lambang tersebut.

Lambang terdiri dari 3 bagian komponen, yaitu dasar atau bingkai dasar, warna dasar dan beberapa unsur gambar. Beliau menjelaskan sebagai berikut :

  1. Lambang ini terletak pada dasar segilima tegak, yang menggambarkan bahwa Yayasan Maraqitta’limat tegak memperjuangkan Islam dengan lima rukun dan hukumnya. Dasar warna hijau melambangkan kedamaian dan kesejukan, sehingga setiap manusia akan hidup bahagia di dunia dan akhirat jika rukun dan hukum Islam yang lima selalu ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik serta hidup damai dan tenteram bersama masyarakat dan alam sekitarnya.
  2. Bulan sabit merupakan simbol agama Islam secara umum dan berlaku di seluruh dunia. Bulan adalah benda langit yang memiliki cahaya terang sehingga mampu menerangi gelapnya malam. Bulan juga berfungsi sebagai penentu waktu. Yayasan Maraqitta’limat dapat menjadi penerang dalam ikut serta memberantas kebodohan seiring dengan bergantinya waktu.
  3. Bintang merupakan simbol kemajuan dan kejayaan. Bintang juga sebagai alat penentu arah atau kompas dalam perjalanan menuju arah tertentu baik di darat maupun di laut pada malam hari yang gelap gulita. Lima buah bintang pada lambang Yayasan Maraqitta’limat sebagai simbol jalur penyampaian ilmu pengetahuan dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.

 

Bintang Pertama: Nubuwah Allah SWT.

Nubuwah Allah SWT mengajarkan atau menurunkan ilmu-Nya kepada para Nabi dan Rasul melalui perantaran wahyu. Demikian pula kepada Rasulullah Muhammad SAW yang menerima wahyu dari Allah SWT. Wahyu sebagai penuntun yang mengajarkan seluruh macam disiplin ilmu yang berhubungan dengan ibadah maupun mu’ammalah. Beribadah sebagai hubungan dengan Allah SWT (hablumminalloh) dan mu’ammalah sebagai hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan (hablumminannas).

 

Bintang Kedua: Sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW menerima ajaran-ajaran Allah SWT baik secara langsung maupun melalui perantaraan Malaikat Jibril yang semuanya terkumpul dalam kitab suci al-Qur’anul Karim. Kemudian Rsulullah SAW mentransfer ilmu pengetahuan itu kepada para sahabat beliau yang setia yang dilengkapi dengan keterangan dan penjelasan-penjelasan yang disebut hadits atau sunnah. Penjelasan itu dapat berupa perkataan, perbuatan maupun takrir atau persetujuan Rasulullah SAW sebagai pemegang amanah dari Allah SWT. Segala ilmu yang diterima dari Allah SWT disampaikan seluruhnya, tanpa satupun yang ketinggalan atau terlupakan. Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman manusia dalam menempuh kehidupan dunia menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat. Manusia tidak akan pernah tersesat jika selalu berpedoman pada kedua sumber hukum dan pelajaran tersebut sepanjang masa, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

 

Bintang Ketiga: Para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ilmu yang diterima oleh para sahabat yang mulia, kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya, yaitu para tabi’in. Dari tabi’in dilanjutkan kepada para tabi’ut tabai’in dan kemudian diteruskan kepada para ulama. Dengan demikian ilmu semakin menyebar dengan banyaknya para ulama yang menerima ajaran itu dari para pendahulunya.

 

Bintang Keempat: Guru.

Guru merupakan sosok penerus perjuangan para ulama. Ulama yang telah mewarisi ilmu dari Nabi melalui perantaraan tabi’in dan tabi’ut tabi’in melanjutkan perjalanan ilmu kepada para guru yang tekun, ikhlas dan bertanggung jawab melaksanakan tugas kewajibannya untuk mendidik, mengajarkan dan menyampaikan segala ajaran yang diketahuinya dengan benar kepada murid-muridnya.

Pekerjaan guru adalah pekerjaan mulia dan terhormat. Guru berusaha mengajarkan ilmu untuk bekal pengetahuan dan sekaligus untuk membersihkan hati manusia, baik dari kebdoohan maupun kesesatan. Guru adalah khalifah Allah di muka bumi ini. Guru merupakan seorang bendaharwan yang boleh dan dapat membelanjakan simpanannya berupa ilmu pengetahuan setiap saat kepada siapapun yang membutuhakan. Guru ibarat minyak kasturi yang wanginya bukan hanya mengharumkan namanya sendiri tetapi juga mengharumkan orang lain. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat menjadi guru yang baik, yaitu guru yang dapat digugu dan ditiru.

Guru yang baik bersifat kasih sayang terhadap murid-muridnya bagaikan fungsi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Jika ayah ibu yang melahirkan manusia ke dunia ini dan memberikan makan dan minum yang halal bagi pertumbuhan jasamani, maka guru berfungsi memberikan santapan bagi pertumbuhan rohani yang dekat dengan Allah Sang Pencipta.

 

Bintang Kelima: Murid.

Murid adalah insan-insan yang menjadi tumpuan dan harapan generasi tua. Murid haruslah selalu rajin, taat dan patuh serta ikhlas menerima pelajaran yang baik dari guru sebagai bekal untuk menuju kemaslahatan dan kebahagiaan masa depan.

 

Tangan menulis dengan pena

Tangan melambangkan akal, pikiran dan kekuatan zhahir bathin, sebagaimana yang Allah SWT sebutkan dalam al-Qur’an. Tangan juga sebagai simbol kekuasaan, lambang kekuatan dan cermin dari segala perbuatan sebagaimana firman Allah SWT

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Begitulah, maka keberhasilan dan kegagalan seseorang banyak disebabkan oleh perbuatan tangannya. Tangan seseorang yang cekatan dan terampil yang ditunjang oleh pikiran yang cerdas akan membuat murid dapat menangkap pelajaran-pelajaran yang berguna dari seorang guru. Goresan tangan yang tekun dan kreatif akan menghasilkan ilmu dan hasil yang berguna dalam mengejar cita-cita dan mencapai sukses yang sempurna. Sebaliknya tangan yang malas, kaku dan enggan akan mendatangkan kegagalan dan penyesalan dikemudian hari.

Untuk menunjang keberhasilan, tangan manusia dibantu oleh alat yaitu pena. Pena adalah perantara ilmu pengetahuan dan penyampai berita yang sangat luar biasa. Ungkapan yang mengatakan bahwa pena itu lebih tajam dari pedang nyata benarnya. Inilah kemuliaan Allah SWT yang tinggi. Diajarkan-Nya manusia berbagai macam ilmu pengetahuan, dibukakan segala rahasia, diserahkan kunci untuk membuka perbendaharaan ilmu pengetahuan melalui perantaraan qalam, perantaraan pena.

Ilmu pengetahuan ibarat binatang buruan yang sangat liar. Kita harus berjuang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, maka jika binatang buruan itu sudah dapat ditangkap, ikatlah agar tidak lepas. Ikatlah kuat-kuat dengan tali pengikat. Maka ikatan yang kuat bagi ilmu pengetahuan adalah dengan mencatatnya agar ilmu yang didapat tidak lekas hilang.

 

Tulisan/kalimat :

Dalam kalimat inilah tersimpul segala makna dan maksud yang terkandung pada lambang Yayasan Maraqitta’limat sebagaimana uraian diatas.

 

Penerus Perjuangan Yayasan Maraqitta’limat

Yayasan Maraqitta’limat Al-Islamiyah Al-Ahliyyah (YAMTIA) semakin menapaki kemajuan dari tahun ke tahun. Jama’ah yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Lombok dan pulau-pulau lainnya seperti Sumbawa dan Sulawesi senantiasa bahu-membahu untuk meneruskan cita-cita pendiri yayasan sesuai dengan fungsi dan kemampuan masing-masing. Sejumlah majelis ta’lim dan lembaga pendidikan didirikan untuk menjalankan misi dakwah, sosial dan pendidikan.

Ditengah perkembangan dan perjuangan Yayasan Maraqitta’limat yang cukup pesat, pada tanggal 4 Februari 1991, pimpinan pusat Yamtia, TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad dipanggil oleh Sang Pencipta untuk menghadap kehadirat-Nya. Beliau meninggalkan 1 orang istri dan 6 orang putra. Sebelum meninggal dunia, beliau menunjuk salah seorang putranya yaitu TGH. Hazmi Hamzar sebagai pengganti yang akan meneruskan misi Yayasan Maraqitta’limat.

Muktamar Yayasan Maraqitta’limat pada tahun 1991 mengukuhkan TGH. Hazmi Hamzar sebagai pucuk pimpinan hingga saat ini.

Dibawah kepemimpinan TGH. Hazmi perjuangan Yayasan Maraqitta’limat semakin ditingkatkan. Pembangunan sarana dan prasarana terus digalakkan, demikian pula dengan penggalangan jama’ah yang tersebar di berbagai tempat.

Hingga saat ini, yayasan Maraqitta’limat memiliki sekitar 116 majelis ta’lim, beberapa lembaga pendidikan non formal dan ratusan lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat TK/RA sampai perguruan tinggi. Dalam bidang ekonomi, Yayasan Maraqitta’limat memiliki Koperasi Pondok Pesantren Putra Hamzar.

 

Lembaga Pendidikan dan Dakwah Yayasan Maraqitta’limat

Yayasan Maraqitta’limat pada tahun 2011 memasuki usia yang ke-59. Sebuah usia yang cukup bagi sebuah organisasi atau yayasan yang selalu konsen dan eksis dalam membina ummat. Seiring dengan derap langkah pengembangan pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan, berbagai sarana dan fasilitas dikembangkan. Berbekal semangat juang dan rasa kebersamaan seluruh jama’ah Maraqitta’limat, hingga kini ratusan lembaga pendidikan telah beroperasi. Lembaga-lembaga yang dikelola Yayasan Maraqitta’limat antara lain:

 

Bidang dakwah:

Terdapat sekitar 116 majelis ta’lim yang tersebar di seluruh pulau Lombok, bahkan di luar pulau Lombok seperti Sumbawa, Sulawesi dan Kalimantan.

 

Bidang ekonomi:

Yamtia memiliki Koperasi Pondok Pesantren Putra Hamzar yang mengembangkan peternakan sapi dan usaha kelompok tani jarak, mengelola apotik, toko obat dan tempat praktik dokter, Lembaga Ekonomi Lombok Utara (LELU) yang mengembangkan dan membina kelompok tani cabe dan kacang tanah.

 

Bidang Pendidikan:

Mengelola ratusan pendidikan formal dan non formal dari semua tingkatan. Berikut nama-nama lembaga pendidikan yang dikelola Yayasan Maraqitta’limat.

 

Taman Kanak-kanak atau Raudlatul Atfal

  1. TK “Sari Murni” Ladon – Mamben Lauk
  2. TK “Miftahul Nawar” Tembeng Putik
  3. TK “Izzul Islam”  Wanasaba
  4. TK “Ar-Rizki”  Mamben Lauk
  5. TK “Al-Aliyah” Mamben Daya
  6. TK “Al-Hamzar” Belanting
  7. TK “Al-Hamzar” Suela
  8. TK “Maraqitta’limat” Sembalun

 

Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah

  1. MI Maraqitta’limat Mamben Lauk
  2. MI Maraqitta’limat Gelumpang – Mamben Daya
  3. MI Maraqitta’limat Lengkok Tengak – Mamben Lauk
  4. MI Maraqitta’limat Lengkok Lendang – Tembeng Putik
  5. MI Maraqitta’limat Lenggorong
  6. MI Maraqitta’limat Tembeng Putik
  7. MI Maraqitta’limat Sidutan
  8. MI Maraqitta’limat Orong Rantek
  9. MI Maraqitta’limat Tirpas
  10. MI Maraqitta’limat Wanasaba
  11. MI Maraqitta’limat Bongor
  12. MI Maraqitta’limat Suela
  13. MI Maraqitta’limat Dasan Bilok – Sambelia
  14. MI Maraqitta’limat Landean
  15. MI Maraqitta’limat Obel-obel
  16. MI Maraqitta’limat Anyar – Bayan
  17. MI Maraqitta’limat Lokok Aur – Karang Bajo
  18. MI Maraqitta’limat Mendala – Bayan
  19. MI Maraqitta’limat Sembalun Batu – Bayan
  20. MI Maraqitta’limat Panggung – Kayangan Daya
  21. MI Maraqitta’limat Wakan
  22. MI Maraqitta’limat Alas
  23. SDI Maraqitta’limat Napak Sari – Mekar Sari
  24. SDI Maraqitta’limat Belanting – Sambelia

 

Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah

  1. MTs Maraqitta’limat Mamben Lauk
  2. MTs Maraqitta’limat Lengkok Lendang – Tembeng Putik
  3. MTs Maraqitta’limat Orong Rantek
  4. MTs Maraqitta’limat Tembeng Putik
  5. MTs Maraqitta’limat Tirpas
  6. MTs Maraqitta’limat Suela
  7. MTs Maraqitta’limat Napak Sari
  8. MTs Maraqitta’limat Sembalun
  9. MTs Maraqitta’limat Belanting
  10. MTs Maraqitta’limat Anyar
  11. MTs Maraqitta’limat Sidutan
  12. MTs Maraqitta’limat Santong
  13. MTs Maraqitta’limat Lokok Aur
  14. MTs Maraqitta’limat Bongor
  15. MTs Maraqitta’limat Lenggorong
  16. SMP Maraqitta’limat Mamben Daya
  17. SMP Maraqitta’limat Tembeng Putik

 

Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan

  1. MA Maraqitta’limat Mamben Lauk
  2. MA Maraqitta’limat Belanting
  3. SMA Maraqitta’limat Wanasaba
  4. SMA Maraqitta’limat Tembeng Putik
  5. SMK Maraqitta’limat Mamben Lauk
  6. SMK Maraqitta’limat Tembeng Putik
  7. SMK Maraqitta’limat Lengkok Lendang
  8. SMK Maraqitta’limat Sembalun
  9. SMK Maraqitta’limat Suela
  10. SMK Maraqitta’limat Omba
  11. SMK Maraqitta’limat Anyar – Bayan

 

Pergurun Tinggi/Universitas

  1. STKIP Hamzar Lombok Utara
  2. STIKES Hamzar Mamben Daya

 

Pendidikan Non Formal

Diniyah

  1. Diniyah Nurul Jama’ah Bunut Lendong
  2. Diniyah Nurussabah  Mamben Lauk
  3. Diniyah Maraqitta’limat Bebae
  4. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Dalem Mamben Lauk
  5. Diniyah Maraqitta’limat Karang Anyar Mamben Lauk
  6. Diniyah Maraqitta’limat Karang Anyar Barat
  7. Diniyah Maraqitta’limat Senggauan
  8. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Barat Tembeng Putik
  9. Diniyah Maraqitta’limat Tirpas
  10. Diniyah Maraqitta’limat Lengkok Embuk
  11. Diniyah Maraqitta’limat Ladon
  12. Diniyah Maraqitta’limat Lengkok Tengak
  13. Diniyah Maraqitta’limat Lengkok Lendang
  14. Diniyah Maraqitta’limat Orong Rantek
  15. Diniyah Maraqitta’limat Lendang Belo
  16. Diniyah Maraqitta’limat Aik Dalem
  17. Diniyah Maraqitta’limat Bandok Lauk
  18. Diniyah Maraqitta’limat Bandok Daya
  19. Diniyah Maraqitta’limat Esot
  20. Diniyah Maraqitta’limat Keroya
  21. Diniyah Maraqitta’limat Omba
  22. Diniyah Maraqitta’limat Bagek Longgek
  23. Diniyah Maraqitta’limat Renga
  24. Diniyah Maraqitta’limat Gelumpang
  25. Diniyah Maraqitta’limat Dasan Bembek
  26. Diniyah Maraqitta’limat Dasan Tereng
  27. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Barat Wanasaba
  28. Diniyah Maraqitta’limat Urat Tengah Wanasaba
  29. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Beak Wanasaba
  30. Diniyah Maraqitta’limat Suela
  31. Diniyah Maraqitta’limat Tibu Jukung
  32. Diniyah Maraqitta’limat Sapit
  33. Diniyah Maraqitta’limat Daan Cempaka
  34. Diniyah Maraqitta’limat Lelemer
  35. Diniyah Maraqitta’limat Jorong Koak
  36. Diniyah Maraqitta’limat Sembalun
  37. Diniyah Maraqitta’limat Belanting
  38. Diniyah Maraqitta’limat Medas
  39. Diniyah Maraqitta’limat Obel-Obel
  40. Diniyah Maraqitta’limat Bilok Petung
  41. Diniyah Maraqitta’limat Landean
  42. Diniyah Maraqitta’limat Sajang
  43. Diniyah Maraqitta’limat Bawak Nao
  44. Diniyah Maraqitta’limat Lenggorong
  45. Diniyah Maraqitta’limat Ancak
  46. Diniyah Maraqitta’limat Lokok Aur
  47. Diniyah Maraqitta’limat Anyar
  48. Diniyah Maraqitta’limat Sidutan
  49. Diniyah Maraqitta’limat Santong
  50. Diniyah Mendala Sembalun Batu
  51. Diniyah Maraqitta’limat Panggung
  52. Diniyah Maraqitta’limat Bongor
  53. Diniyah Maraqitta’limat Sukadana
  54. Diniyah Maraqitta’limat Wakan
  55. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Dalem I
  56. Diniyah Maraqitta’limat Gubuk Dalem II
  57. Diniyah Maraqitta’limat Karang Anyar Daya
  58. Diniyah Maraqitta’limat Karang Anyar Barat
  59. Diniyah Maraqitta’limat Suntalangu
  60. Diniyah Maraqitta’limat Napak Sari
  61. Diniyah Maraqitta’limat Tampes
  62. Diniyah Maraqitta’limat Ketangga
  63. Diniyah Maraqitta’limat Batu Tinja
  64. Diniyah Maraqitta’limat Lendang Mamben Lauk

 

Asuhan Keluarga dan Panti Asuhan

  1. AK Nurussabah Bunut Lendong
  2. AK Nurul Jama’ah Timuk Erat
  3. PA Maraqitta’limat Tembeng Putik
  4. PA Maraqitta’limat Mamben Daya
  5. PA Maraqitta’limat Santong

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Maraqitta’limat

Proses Pendirian Yayasan Maraqitta’limat

Proses pendirian Pondok Pesantren (Ponpes) dan Yayasan Maraqitta’limat mengalami perjalanan yang sangat panjang. Apalagi jika dikaitkan dengan sejarah hidup dan perjuangan pendirinya yakni dimulai dengan perjuangan Alm. TGH. Muhammad Arsyad yang kemudian dilanjutkan oleh putranya TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad.

Kehidupan keluarga TGH. Muhammad Arsyad yang sangat sederhana dan nyaris bersahaja tidak menyurutkan niat beliau untuk berjuang menegakkan kalimah Allah keliling dari satu kampung ke kampung lainnya, walaupun tanpa menggunakan sarana transportasi. Satu demi satu, masyarakat diajak untuk menyembah hanya kepada Allah SWT, karena pada masa itu masyarakat di pulau Lombok pada umumnya masih hidup dalam kebodohan dan buta dari agama. Dengan berbagai susah payah, beliau mengajarkan pemahaman agama sedikit demi sedikit. Cita-cita beliau yang luhur, dengan berbekal keimanan yang kuat, dan keyakinan akan pertolongan Allah SWT, maka untuk dapat meneruskan perjuangan menyebarkan agama Islam di Gumi Sasak, maka TGH. Muhammad Arsyad mengirim putranya Muhammad Zainuddin untuk menuntut ilmu ke Saudi Arabia.

Muhammad Zainuddin semenjak kecil bermukim di kota suci itu. Dalam perjalanan menelusuri sinar-sinar Illahi di kota nabi, seorang Muhammad Zainuddin kecil telah menemukan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang telah menempa dirinya menjadi seorang remaja yang cerdas dan ulet. Sekitar 20 tahun berada di Makkah menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum. Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang bernama Jarwal, kurang lebih 1 kilometer dari Masjidil Haram. Akhirnya dengan berbekal ilmu pengetahuan agama, pada tahun 1938 Muhammad Zainuddin kembali ke tanah kelahirannya di Mamben Lauq Kecamatan Wanasaba Lombok Timur untuk membantu perjuangan ayahandanya.

Kepulangan beliau yang membawa angin segar bagi ummat disambut dengan gembira oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Beliau sangat prihatin melihat kondisi masyarakat pulau Lombok saat itu. Maka melihat kesibukan ayahandanya yang sibuk melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, maka terbetiklah  dalam hatinya untuk mendirikan kelompok pengajian. Maka saat itu dirintis sebuah majelis ta’lim yang diberi nama Majlis Ta’lim Darul Ulum, memakai nama madrasah di Arab Saudi yang selama ini telah membesarkan beliau.

Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad dengan jiwa muda yang menyala-nyala mulai mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama Islam seperti membaca al-Qur’an, fiqih, bahasa Arab, Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir dan sebagainya. Ayahandanya pun sangat bersyukur melihat kegigihan putranya.

Sosok Zainuddin Arsyad telah menjelma menjadi seorang tuan guru muda yang cerdas dan berwibawa. Beliau sering menggantikan ayahandanya memberikan ceramah-ceramah agama kepada jama’ahnya. Kecakapan dan wibawa itu begitu cepat melekat dalam benak setiap jama’ah, sehingga semakin lama majlis ta’lim Darul Ulum semakin banyak dikunjungi jama’ah untuk menuntut ilmu dan menerima wejangan-wejangan dari tuan guru muda yang mereka sebut Penghulu Bajang.

Selain ilmu-ilmu dasar, pada majlis ta’lim itu diajarkan juga berbagai disiplin ilmu antara lain Ma’abadil Fiqih, Nahu Wadhih, Badrun Munir, Lughotul Arabiyah, Nahu Shoraf, Fathul Qorib, Tariqatul Islam, Tariqatul Hadiyah, Ilmu Mantiq dan sebagainya.

Perkembangan majlis ta’lim yang signifikan membuat tempat belajar yang selama ini dipergunakan tidak mampu lagi menampung para santri yang terus berdatangan dari berbagai penjuru. Maka pada tahun 1950, oleh beberapa tokoh masyarakat didirikanlah tempat pengajian yang lebih luas, yaitu di sebuah musholla yang dibangun oleh Amaq Sadar.

Santri angkatan pertama majlis ta’lim Darul Ulum antara lain TGH. Abu Bakar, Amaq Mukenah atau yang lebih dikenal dengan nama Guru Mukenah, Ustadz H. Farhan, H. Badarudin, H. Marzuki, H, Halil, H. Rusli, Amaq Suarno, Amaq Husnah, Amaq Erah, Amaq Haderi, Amaq As’ad, Inaq Wasifah dan lain-lain, yang kesemuanya kelak dikenal dengan sebutan guru karena setelah mereka menerima ilmu dari Penghulu Bajang, mereka kemudian menyebar ke berbagai desa untuk menyampaikan dakwah atau mengajar “ngaji”. Karena memang para santri angkatan pertama ini dibina untuk menjadi guru bagi generasi berikutnya.

Sedangkan santri pada angkatan kedua antara lain H. Abdul Mannan, Saleh Rihin, H. Ahyar (Mamben Daya), H. Arsyad (Lendang) dan kemudian disusul oleh angkatan berikutnya seperti Amaq Saleh, Amaq Sa’adah, Amaq Hirpan, Amaq Sulhan, Siderah, Hurnaen, H. Maksum dan H. Yasin.

Perkembangan majlis ta’lim Darul Ulum semakin pesat, akhirnya terpikir oleh TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad untuk mendirikan sebuah pondok pesantren sebagai lembaga koordinasi segala kegiatan yang dilakukan baik dalam bidang dakwah maupun sosial.

Pada tahun 1951, beliau bersama beberapa rekannya melakukan musyawarah untuk merealisasikan rencana pendirian pondok pesantren tersebut. Musyawarah pertama dihadiri oleh ayahandanya TGH. Muhammad Arsyad. Beliau mengundang beberapa tokoh seperti H.M. Amin, TGH. Mustaqim, Papuq Hayat, H. Halidi, HM. Hamid, H. Baharuddin, Guru Nurminah, Amaq Munaqif, H. Mahmudin dan H. Ridwan. Pada musyawarah pertama ini, masud mendirikan pondok pesantren dimantapkan dan mulai mempersiapkan rencana strategis pondok pesantren.

Pertemuan pertama ditindak lanjuti pada musyawarah kedua dengan mengundang keliang kampung (kepala dusun) se-desa Mamben Lauk, seperti H. Mustafa, H. Mukhtar, Anhar, Guru Badar, Amaq Manan, Amaq Muhriah, Amaq Saknah, HM. Saleh, Amaq Kalsum, Amaq Nasrun, Amaq Sakrah, Amaq Erah, Amaq Saenah dan beberapa tokoh lainnya.

Pertemuan kedua ini cukup alot karena membahas nama lembaga pendidikan yang akan didirikan. Dua nama yang mencuat dan banyak diusulkan waktu itu adalah Darul Ulum (Rumah Ilmu) dan Maraqitta’limat (tangga pendidikan). Karena pertimbangan bahwa Darul Ulum adalah nama lembaga pendidikan yang ada di Makkah, maka disepakatilah nama yang dipakai adalah MARAQITTA’LIMAT.  Nama ini disepakati pada tahun 1952, sehingga ditetapkan sebagai hari lahirnya YAYASAN MARAQITTA’LIMAT.

Tahun 1959 perjuangan Maraqitta’limat terus dilanjutkan. Pondok pesantren dan yayasan terus dibina dan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART). Kemudian untuk memperkuat administrasi pendirian ini, Yayasan Maraqitta’limat dibuatkan Akte Notaris pada tahun 1960 berkat kerjasama pengurus dengan pimpinan Muhammadiyah Masbagik. Pembuatan Akta Notaris tersebut bertepatan dengan masa jabatan Gubernur NTB Wadita Kusuma dan Lalu Wildan sebagai Bupati Lombok Timur.

Pada awal berdiri, Yayasan Maraqitta’limat berhaluan politik Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) yang waktu itu diketuai oleh KH. Agus Alwi dan Umar Sameq.

Pada tanggal 30 Juni 1964 dilakukan acara peresmian Yayasan Maraqitta’limat yang dihadiri langsung oleh beberapa tokoh Masyumi Pusat seperti KH. Muhammad Hafiz dan ormas Islam sepulau Lombok bersama beberapa pejabat pemerintah dari kabupaten dan provinsi.

Yayasan Maraqitta’limat pada pembentukannya diketuai langsung oleh TGH. Muhammad Zainuddin Arsyad dan Sekretaris Ust. H. Abdul Mannan. Untuk memperluas pembinaan, maka secara resmi Yayasan ini bergerak pada tiga bidang yaitu Sosial, Dakwah dan Pendidikan. Sosial dan Dakwah telah dilakukan secara terus menerus melalui lembaga-lembaga informal yang dibentuk oleh pimpinan dan guru-guru ngaji yang menyebar di berbagai desa di Pulau Lombok. Selanjutnya untuk pendidikan, dibangunlah sekolah-sekolah atau madrasah. Karena dari majlis ta’lim dan lembaga pendidikan inilah tuan guru bertekad untuk membentuk kepribadian manusia yang bertanggung jawab untuk membangun agama, nusa dan bangsa yang berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.

Kaitannya dengan misi pendidikan Yayasan Maraqitta’limat, TGH. Zainuddin Arsyad menuangkan dalam pemikiran filosofisnya sebuah kalimat indah yang dikutip berdasarkan ayat suci Al-Qur’an yang merupakan ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT dan berkaitan dengan perintah membaca (belajar). Ayat indah ini sekaligus sebagai ilham dalam mengembangkan pendidikan melalui yayasan ini, yaitu kalimat :

“Yang telah mengajarkan manusia dengan perantaraan Qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya….” (Al-Alaq ayat 4 dan 5)